Thursday, September 27, 2012

Barat dan Timur


Barat dan Timur
Simplifikasi. Itulah yang sering kita lakukan ketika kita berbicara tentang "barat" dan "timur". "Barat", apa boleh buat, seringkali kita lukiskan dengan individualisme, kapitalisme, sekular dan free sex. Sedangkan "timur" kita deskripsikan dengan gotong royong, religius, ramah, dan serba kekeluargaan. Image tersebut sering kita terima tanpa sikap kritis, atau sekurang-kurangnya, mempertanyakan benar tidaknya hal tersebut.

Lebih jauh lagi, kita sering bicara akan "barat" dengan konotasi non-Muslim dan "timur" sebagai Muslim, walaupun kita tahu bahwa "barat" tidak selamanya berarti non-Muslim apalagi anti Islam, sebagaimana "timur" tidak selalu berarti pendukung gerakan Islam.

Celakanya, simplifikasi ini juga digunakan oleh mereka yang sering kita sebut "barat". "Barat" sering memandang "timur" sebagai sebuah ancaman (sampai-sampai Professor Samuel Huntington pun menjadikannya alasan utk meramal terjadinya the clash of civilisation). "Timur" sering juga dikelirulukiskan sebagai anti modern, tidak berperadaban, etos kerja lemah, tidak rasional dan teroris serta fundamentalis.

Simplifikasi seperti itu sering di hamburkan di media masa, televisi, mimbar Jum'at, dan radio serta internet. Tanpa sadar image tersebut kita wariskan secara turun temerun; antar generasi. Kita bicarakan "barat" dengan penuh sinisme, dan, sebaliknya, kita sebut "timur" dengan romantisme. "Barat" telah menjadi "minkum" (golongan kalian) dan "timur" kita anggap sebagai "minna" (golongan kami). Tiba-tiba kita jadi senang membicarakan dunia kita yang berbeda dengan dunia lain (tentu seraya menepuk dada bahwa dunia lain itu tidak seindah dunia kita).

Hal ini tentu saja bertentangan dengan ayat Qur'an ketika Allah berfirman: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui."(Qs 2: 115)

Simplifikasi memang terkadang mengasyikkan, namun sering kali menyesatkan kita. Dari simplifikasi biasa lahir generalisasi. Siapa yang kebetulan berbeda dengan kita baik dari cara berpakaian, cara beribadah, cara berdiskusi maupun cara berpikir bukan disebut "minna" tetapi "minkum." Kita jadi sibuk mengidentifikasi mana golongan kita dan mana golongan di luar kita.

Contoh lain simplifikasi adalah ketika seorang Brother dari jama'ah tabligh menggugat ceramah Professor Howard Brasted di Masjid UNE yang bertajuk "Islam in the Modern World". Brother asal Maroko itu berkata, "Kami menolak modernisme karena isteri kami tidak boleh mengumbar aurat!" Professor Brasted menjawab sambil tersenyum, "Anda keliru mengartikan modernisme dengan membuka aurat!" Ini sama halnya dengan sebagian remaja putri kita yang memakai pakaian tipis dan ketat serta mini hanya karena ingin mengikuti arus modernisasi.

Lagi-lagi simplifikasi

Membaca Teks Suci (1)


Membaca Teks Suci (1)

Nabi wafat dan meninggalkan dua pusaka, al-Qur'an al-Karim dan Hadis Nabi. Dipesankan oleh Nabi Muhammad saw, bila kita berpegang teguh pada kedua pusaka itu, niscaya kita akan selamat di dunia dan akherat.

Petunjuk suci itu hadir di tengah kita kini dalam bentuk teks. Petunjuk suci itu lahir lima belas abad yang lampau. Kedua pusaka itu telah melintasi ruang dan waktu. Sudah banyak lahir karya ulama besar yang memberi tafsir terhadap kedua teks suci itu sehingga teks suci itu selalu dapat dijadikan petunjuk untuk menghadapi tantangan zaman.

Ya, tafsir merupakan kata kunci dalam usaha "membumikan" kedua teks suci itu. Semakin cerdas kita membaca teks, semakin cerdas pula teks itu memberikan jawaban. Pada titik ini, yang terjadi adalah dialog terus menerus antara si pembaca teks dengan teks suci tersebut. Karena itu kualitas "bacaan" terhadap teks dipengaruhi oleh kualifikasi pembaca.

Ayat-ayat mengenai jihad yang dibaca oleh pejuang di Palestina dan di Bosnia tentu berbeda nuansanya bila dibaca oleh Muslim yang tinggal di kaki gunung yang penuh kedamaian. Ayat mengenai solidaritas sosial tentu menjadi lebih hidup ketika diberi muatan tafsir oleh aktivis sosial. Begitu pula ayat-ayat tentang alam semesta menjadi sumber inspirasi dan konfirmasi bagi ilmuwan.

Semua umat Islam memiliki hak yang sama untuk mengakses kedua pusaka itu; tidak peduli latar belakang dan spesialisasi keilmuan mereka. Sayang, sebagian orang membatasi hak penafsiran itu pada orang tertentu (yang lazimnya dikenal dengan sebutan ulama). Lebih celaka lagi, sebagian orang menyalahgunakan haknya dalam mengakses teks suci itu. Seorang ahli ekonomi tiba-tiba membahas aspek syari'ah dalam kedua teks suci tersebut. Seorang ahli peternakan tiba-tiba tampil membahas ayat-ayat tentang teologi. Seorang pakar hukum Islam keluar dari jalurnya ketika ia bicara ayat dan hadis tentang tekhnologi. Pendek kata, menyalahgunakan hak jauh lebih berbahaya dibanding tidak menggunakan hak itu.

Tafsir adalah kata kunci dalam menjalankan Islam, khususnya ketika kedua pusaka suci mengirimkan sinyal-sinyal yang samar dan remang-remang. Tafsir diperlukan untuk membuat sinyal itu menjadi jelas. Sayang, banyak yang suka melakukan monopoli penafsiran. Banyak yang emoh dengan pluralitas penafsiran. Bahkan, banyak pula yang anti dengan perbedaan pendapat. Tidak jarang sebuah perbedaan pendapat disikapi dengan kecurigaan, tuduhan, dan hamburan emosi.

Membaca teks suci dan mengamalkannya adalah pesan Nabi yang harus diikuti. Namun banyak yang lupa, bahwa perbedaan pendapat dan keragaman penafsiran terhadap kedua teks suci itu justru lahir karena mengamalkan pesan Nabi itu. Selain tafsir, tampaknya kata kunci dalam memahami kedua pusaka peninggalan Nabi adalah pluralitas.

Masalahnya, sudah siapkah kita menerima pluralitas penafsiran terhadap kedua teks suci itu? Atau kita masih saja merasa bahwa tafsiran kitalah yang paling benar, dan orang lain yang berbeda penafsiran dengan kita dianggap mempraktekkan bid'ah, sesat, ataupun kafir?

Membaca Teks Suci (2)


Membaca Teks Suci (2)
Ummat Islam menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber rujukan utama dan terutama. Kitab suci itu juga menjelaskan fungsinya sebagai, "Kitab yang tiada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa"(Al-Baqarah:2). Karena tiada keraguan mengenai isinya, maka semua informasi yang diberikan dalam Al-Qur'an pastilah benar. Hal ini tidaklah mengherankan karena Al-Qur'an adalah Kalamullah; ia berasal dari Allah SWT. Adalah wajib bagi ummat islam untuk meyakini bahwa satu huruf pun dalam Al-Qur'an itu berasal dari Allah SWT.

Kitab suci yang diturunkan kepada Muhammad SAW ini haruslah dibaca dan dipahami sebaik mungkin. Sayangnya, ada dua hal yang menyulitkan kita untuk memahaminya. Pertama, Al-Qur'an menggunakan bahasa Arab. Kedua,tema-temanya tidak tersusun rapi dan sistematis.

Kesulitan pertama lahir karena ketidakmampuan sebagian besar diantara kita berbahasa arab dengan baik. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa sastra yang digunakan oleh Al-Qur'an sangatlah tinggi. Bagi yang tidak menguasai bahasa Arab atau hanya sedikit menguasai jelas amat sulit untuk menangkap maksud Al-Qur'an dengan baik. Bahkan mereka yang bahasa ibunya bahasa Arab pun belum tentu mampu memahami kandungan bahasa al-Qur'an. Untunglah terjemahan Al-Qur'an sudah dicetak dan beredar luas. Tafsir berbahasa Indonesia juga sudah ada, semisal Tafsir Al-Azhar Buya Hamka.

Kesulitan kedua merupakan lanjutan logis dari kesulitan pertama. 114 surat yang terbagi dalam 30 juz dan tersebar dalam enam ribu lebih ayat bukanlah tersusun seperti ensiklopedi, yang entrinya disusun secara alpabetikal. Tema dalam Al-Qur'an terkesan meloncat-loncat. Kita akan gagal memahami maksud satu tema, bahkan satu ayat, dalam Al-Qur'an tanpa menghubungkannya dengan sejumlah ayat lain; bahkan juga harus dibantu dengan sejumlah riwayat hadis. Ini menunjukkan kita harus benar-benar memahami Al-Qurâan secara satu kesatuan (holistik).

Berbeda dengan membaca ensiklopedi yang bila telah menemukan satu entri maka kita dapat melupakan atau mengacuhkan entri lainnya. Tapi tidak demikian halnya dengan Al-Qur'an. Membaca hanya surat Al-Baqarah ayat 219 tentang khamr tidak akan meraih pemahaman yang utuh, kecuali bila kita juga membaca QS. 47: 12, dan QS. 5:90. Untunglah kita tertolong dengan beberapa kitab yang berfungsi sebagai indeks dalam mencari ayat Al-Qur'an. Kitab Mu'jam al-Mufahras, Fathur Rahman atau Indeks Al-Qur'an (terbitan Pustaka Bandung), Konkordansi Al-Qur'an (terbitan Litera Bogor) hanyalah sekedar menyebut beberapa kitab yang sangat berguna bagi kita.

Persoalan yang paling utama adalah bagaimana kita "membaca" Al-Qur'an sehingga hasil "bacaan" tersebut dapat berpengaruh dan menjawab semua problematika kehidupan?

Buat anak IAIN, Al-Qur'an telah menjadi obyek pembahasan tafsir; buat "paranormal", ayat Qur'an menjadi jimat; buat pejabat, ayat Qur'an yang dikutipnya membuat ia dianggap sebagai tokoh Islam, apalagi kalau ia kemudian bergabung dengan organisasi kumpulan cendekiawan Islam; buat para da'i, ayat Qur'an harus dikutip dalam ceramahnya, semakin banyak ayat yg dikutip semakin terlihat kealimannya; buat Sri Bintang Pamungkas, ayat Qur'an juga bisa ditaruh di kartu lebaran "politik"nya; buat AM Saefuddin dari PPP, ayat-ayat yang menyebut "bintang" dikumpulkannya untuk memberi justifikasi lambang partainya; buat seorang kiyai pendukung Golkar, problema umat islam bisa dipecahkan dengan kumpulan ayat yang bila huruf awalnya disingkat akan melahirkan kata "Golkar". Buat qari'-qari'ah, ayat Qur'an dilagukan di MTQ; dan masih banyak macam dan ragam cara kita "memperlakukan" Al-Qur'an.

Tetapi, pernahkah kita berpikir untuk menempatkan Al-Qur'an sesuai dengan proporsinya? Bila kita menghadapi masalah yang berat pernahkah kita mencoba mencari jawabannya di Qur'an? Bila rezeki Tuhan turun begitu melimpah atau tersendat-sendat kepada kita, adakah kita temukan jawabannya dalam kitab suci? Bila kita berselisih dengan karib kerabat pernahkah kita mencari penyelesaiannya dalam Al-Qur'an? Maukah kita disamping membaca koran dan email tiap hari juga mau membaca al-Qur'an setiap hari? Pernahkah kita introspeksi perjalanan hidup kita dengan melihat kandungan ayat suci al-Qur'an sebagai "hakim"nya? Pada umur berapa kita mulai tertarik dengan al-Qur'an dan bersedia menelaah ayat demi ayatnya?

Syaikh Abdullah Darraz berkata, "Al-Qur'an itu bagaikan intan berlian. Dipandang dari sudut manapun tetap memancarkan cahaya". Boleh jadi ada sejumlah surat (katakanlah Surat Al-Ikhlas) yang sejak kecil kita baca (entah telah berapa ratus kali). Pernahkah kita melihat "cahaya"nya yang berbeda-beda? Ketika kita membaca surat Al-Ikhlas dalam satu kondisi boleh jadi kita mendapat satu pemahaman. Di hari dan kondisi yang berbeda, boleh jadi ayat yang sama akan melahirkan pemahaman yang berbeda pula. Semakin sering dibaca, semakin dalam maknanya. Surat Yasin yang dibaca setiap minggu oleh sebagian dari kita, seharusnya telah melahirkan pemahaman yang semakin mendalam setiap minggunya.

Jika kita mampu "membaca" al-Qur'an lebih dari saat kita membaca huruf demi hurufnya, al-Qur'an tiba-tiba menjadi "hidup". Seorang rekan bercerita, ketika ia hendak melakukan perbuatan yang tercela, tiba-tiba ayat al-Qur'an melintas didepannya. Ia terkejut melihat Allah langsung menegurnya dengan "menampakkan" ayat Qur'an didepan matanya. Ketika ia membaca satu ayat, ia tak mampu memahaminya. Namun ia teruskan juga membaca ayat selanjutnya, tiba-tiba ia terkejut karena ia merasa "dibisiki" jawaban ketidaktahuannya melalui ayat selanjutnya. Walhasil, setiap ia membaca al-Qur'an, selalu ia temukan jawaban.

Konon, menurut satu riwayat, al-Qur'an itu berisikan tujuh makna lahir dan tujuh makna batin. Saya tak tahu makna ditingkat keberapa yang sudah diraih rekan tersebut. Yang saya tahu, ia seorang Ethiopia dan sedang menyelesaikan master dalam bidang ekonomi di kampus saya. Yang saya tahu, ia tak berbeda dengan kita dalam hal keawaman terhadap disiplin keislaman klasik (ia bukan seorang ulama), namun pada saat yang sama ia berbeda dengan kita karena ia telah mampu "menghidupkan" al-Qur'an dan membuktikan bahwa al-Qur'an itu memang Kitab petunjuk.

Wa Allahu a'lam bi al-Shawab

Kasih Sayang Ilahi


Kasih Sayang Ilahi

Ibrahim bin Adham , seorang alim yang hidup di abad ke-8, seperti diceritakan dalam salah satu tulisan Goenawan Moehamad, suatu saat bertawaf mengelilingi Ka'bah. Malam gelap, hujan deras, guntur gemuruh. Ketika Ibrahim berada di depan pintu Ka'bah, ia berdo'a, "Ya Tuhanku, lindungilah diriku dari perbuatan dosa terhadap-Mu."

Konon, ada suara yang menjawab, "Ya Ibrahim, kau minta pada-Ku untuk melindungimu dari dosa, dan semua hamba-Ku juga berdo'a serupa itu. Jika Kukabulkan doa kalian, kepada siapa gerangan nanti akan Kutunjukkan rasa belas-Ku dan kepada siapa akan Kuberikan ampunan-Ku?"

Kisah pendek ini entah benar-benar terjadi atau tidak, namun kisah ini memberikan arti panjang bagi kita dalam memandang makna sebuah dosa dan hubungannya dengan kasih sayang Ilahi. Dosa diciptakan oleh Allah sebagaimana Dzat Yang Maha Agung ini menciptakan pahala. Tentu saja sebagaimana ciptaan-Nya yang lain, dosa pun memiliki peran dan hikmah tersendiri.

Dengan adanya dosa, kita jadi tahu ada yang namanya pahala. Dalam lorong yang hitam kita bisa melihat cahaya. Dalam gelap kita jadi tahu apa arti sebuah mentari. Walhasil, dosa memang harus kita jauhi namun juga harus kita pikirkan keberadaannya.

Semoga dengan melihat bahwa dosa pun dapat menjadi alat Allah untuk menunjukkan kasih sayang-Nya, kita mampu lebih memahami hadis Nabi, "Ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik agar perbuatan baik itu menghapusnya."

Kita percaya bahwa ampunan Allah lebih luas dari murka-Nya. Jika Allah yang Gagah Perkasa saja masih bersedia memaafkan hamba-Nya dan menunjukkan kasih sayang-Nya kepada kita semua, mengapa kita tak mau memaafkan kesalahan orang lain kepada kita? Mengapa tak kita serap sifat Rahman dan Rahim-Nya sebagaimana selalu kita baca dalam Bismillah ar-Rahman ar-Rahim?

Ketika saya menghadap Kepala Sekolah sewaktu di Madrasah Aliyah seraya meminta maaf atas prilaku jelek saya. Kepala Sekolah yang sekarang sudah almarhum itu menjawab, "Umar bin Khattab pernah mengubur anaknya hidup-hidup, dia bertobat dan Allah memaafkannya. Apakah kesalahan kamu sudah lebih besar dari prilaku Umar itu sampai saya tak berkenan memaafkan kamu?" Saya merinding mendengar jawaban itu. Saya pun masih merinding saat mengingat betapa pemurahnya guru saya itu. Guru saya tersebut sudah mampu menjadikan kesalahan saya sebagai alat untuk menunjukkan kasih sayangnya.

al-Haq min Allah!


Insya Allah


Insya Allah

Beberapa penduduk Mekkah datang ke Nabi Muhammad saw. bertanya tentang ruh, kisah ashabul kahfi dan kisah Dzulqarnain. Nabi menjawab, "Datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan." Keesokan harinya wahyu tidak datang menemui Nabi, sehingga Nabi gagal menjawab hal-hal yang ditanyakan. Tentu saja "kegagalan" ini menjadi cemoohan kaum kafir.

Saat itulah turun ayat menegur Nabi, "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan ingatlah kepada Tuhan-Mu jika kamu lupa dan katakanlah "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini." (QS 18: 24)

Kata "Insya Allah" berarti "jika Allah menghendaki". Ini menunjukkan bahwa kita tidak tahu sedetik ke depan apa yang terjadi dengan kita. Kedua, hal ini juga menunjukkan bahwa manusia punya rencana, Allah punya kuasa. Dengan demikian, kata "insya Allah" menunjukkan kerendahan hati seorang hamba sekaligus kesadaran akan kekuasaan ilahi.

Dari kisah di atas kita tahu bahkan Nabi pun mendapat teguran ketika alpa mengucapkan insya Allah.

Sayang, sebagian diantara kita sering melupakan peranan dan kekuasaan Allah ketika hendak berencana atau mengerjakan sesuatu. Sebagian diantara kita malah secara keliru mengamalkan kata "insya Allah" sebagai cara untuk tidak mengerjakan sesuatu. Ketika kita diundang, kita menjawab dengan kata "Insya Allah" bukan dengan keyakinan bahwa Allah yang punya kuasa tetapi sebagai cara berbasa-basi untuk tidak memenuhi undangan tersebut. Kita rupanya berkelit dan berlindung dengan kata "Insya Allah". Begitu pula halnya ketika kita berjanji, sering kali kata "insya Allah" keluar begitu saja sebagai alat basa-basi pergaulan.

Yang benar adalah, ketika kita diundang atau berjanji pada orang lain, kita ucapkan "insya Allah", lalu kita berusaha memenuhi undangan ataupun janji itu. Bila tiba-tiba datang halangan seperti sakit, hujan, dan lainnya, kita tidak mampu memenuhi undangan ataupun janji itu, maka disinilah letak kekuasaan Allah. Disinilah baru berlaku makna "insya Allah".


Manusia Sebagai Khalifah Allah

Manusia Sebagai Khalifah Allah

Dalam tulisan mengenai Mawlid ada beberapa orang bertanya kepada saya tentang terjemahan ayat: Wa maa arslnaaka ilaa rahmatan li l'aalamien, dan tidaklah Kuutus engkau (hai Muhammad) selain rahmat bagi beberapa alam (alam sekitar, sumberdaya alam dan lingkungan hidup). Yang dipertanyakan ialah terjemahan al 'alamien yaitu bentuk jamak dari al 'aalam, yaitu keterangan dalam kurung, pengertian tentang alam sekitar, sumberdaya alam dan lingkungan hidup. 
Alam sekitar (surrounding) adalah alam yang belum dijamah manusia, kecuali untuk sumber informasi bagi sains. Tetapi itu tidak berarti bebas nilai, oleh karena sudah menyentuh keinginan manusia, yaitu dipilih sebagai sumber informasi untuk sains. Jadi sejak semula sains itu tidaklah bebas nilai. Awan di udara adalah alam sekitar, sumber informasi, dipelajari oleh sains bagaimana terjadinya hujan. Tidak bebas nilai oleh karena dipilih untuk dikaji, yang menghasilkan teknologi menabur awan guna kepentingan manusia. Di sini ada aliran informasi dari alam sekitar ke sains ke pengungkapan TaqdiruLlah ke teknologi.
Sumberdaya alam, juga adalah alam yang sudah sarat dengan nilai, dengan keinginan manusia untuk dimanfaatkan. Awan yang bergumpal-gumpal di udara yang ditabur dengan es kering atau iodida perak adalah sumberdaya alam, hujan dimanfaatkan untuk kebutuhan air manusia. Di sini terjadi aliran pemanfaatan dari sumberdaya alam ke sistem sosial, atau lengkapnya sistem politik ekonomi sosial budaya pertahanan keamanan (poleksosbudhankam).
Lingkungan hidup, juga alam yang mempunyai ciri yang disebut hidup. Pengertian hidup di sini jangan dikacaukan dengan makna hidup yang hakiki. Sangat sederhana pengertiannya, yaitu makhluk Allah yang dapat makan (termasuk minum dan bernafas), mengeluarkan kotoran, bertumbuh dan berkembang biak. Maka termasuklah di dalamnya tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. di sini terjadi aliran dampak negatif, pengrusakan, dari teknologi ke lingkungan hidup. 
Di samping aliran-aliran yang disebut di atas, ada pula aliran pemanfaatan dari teknologi ke sistem sosial, aliran pemberian nilai dari sistem sosial ke sains. Aliran terbalik dari sistem sosial ke teknologi yang sifatnya mengubah teknologi yang kita sebut teknologi tepat guna. Aliran terbalik dari teknologi ke sains yang sifatnya sebagai tekanan dari teknologi ke sains. Artinya teknologi membutuhkan pengungkapan TaqdiruLlah oleh sains untuk efisiensi. Misalnya setelah ditemukannya mesin uap oleh James Watt, dibutuhkan ilmu baru untuk efisiensi mesin uap itu. Lalu didapatkanlah ilmu termodinamika (thermodynamics) dan ilmu pengantar kalor (heat transfer). Aliran terbalik dari sains ke sistem sosial, berupa pengaruh. Sains yang maju dapat memberi pengaruh kepada masyarakat untuk menjadi masyarakat ilmiyah. Makin maju sains makin meningkat kecenderungan suatu masyarakat menjadi masyarakat ilmiyah, minimal masyarakat kampus.
Demikianlah, dengan model di atas itu kita perkenalkan tiga macam aliran: aliran satu arah yang terbuka, aliran satu arah yang tertutup, dan aliran tertutup yang melingkar. Aliran satu arah yang terbuka: alam sekitar ke sains ke teknologi ke lingkungan hidup. Aliran satu arah yang tertutup: sumberdaya alam ke sistem sosial. Aliran tertutup yang melingkar: sistem sosial - sains ke teknologi kembali ke sistem sosial dan arus baliknya dari sistem sosial ke teknolgi ke sains kembali ke sistem sosial.
Aliran-aliran itu saling mempengaruhi. Misalnya makin intensif aliran dari sumberdaya alam ke sistem sosial, makin gencar pula aliran dari teknologi ke lingkungan hidup. Contohnya, makin banyak sistem sosial menguras bahan bakar, makin gencar pula teknologi mengirim gas CO2 ke lingkungan hidup. Makin serakah sistem sosial menghabiskan bahan bakar (termasuk balap mobil dalam olah raga), makin menebal lapisan CO2, yang berakibat globalisasi pencemaran thermal, oleh efek rumah kaca. Suhu bumi naik, es di kutub mencair, air laut naik. Walhasil makin serakah pemakain bahan bakar dapat menyebabkan banjir seperti di zamannya Nabi Nuh alaihissalaam. 
Dan dimanakah letak manusia dalam model di atas itu? Pertama, manusia menempati alam sekitar sebagai sumber informasi bagi sains. Misalnya pengkajian pembuahan sperma terhadap sel telur di luar rahim manusia, yang menghasilkan teknologi bayi tabung. Kedua, manusia menempati sumberdaya alam, karena tenaga otak dan ototnya dimanfaatkan untuk sistem sosial. Ketiga, manusia menempati lingkungan hidup, karena manusia adalah makhluk hidup yang menderita dampak negatif dari teknologi. Keempat, manusia menempati sistem sosial, karena manusia adalah anggota sistem tersebut. Dan yang kelima, inilah yang terpenting, manusia menempati aliran tertutup yang melingkar. Di situlah spesi manusia berfungsi sebagai khalifah Allah di atas permukaan bumi. Memberikan nilai pada aliran tersebut. Misalnya dalam pemilihan tentang sumber informasi dari alam yang mana sajakah yang bernilai untuk dikaji. Apakah ada nilainya pengkajian pembuahan sel telur oleh sperma di luar rahim, yamg menghasilkan teknologi bayi tabung dan teknologi bank sperma. Sikap hidup yang bagaiamana yang harus dipilih sehingga sistem sosial dapat berhemat sumberdaya alam. Teknologi yang bagaimana yang harus diterapkan sehingga dampak negatifnya terhadap lingkungan hidup dapat diperkecil sekecil-kecil mungkin dan lain lain dan lain. 
Dan jawabannya sangat sederhana, yaitu nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh kitab suci, nilai-nilai yang diajarkan oleh para Rasul, mulai dari Rasul permulaan, Nabi Adam 'Alaihissalaam sampai kepada Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad SallaLlahu 'Alaihi wa Sallam. Dan inilah makna dari wa maa arsalnaaka illaa rahmatan li l'aalamien. WaLlahu a'lamu bishshawab.

MAWLID

MAWLID 

Walaupun Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada 12 Rabiulawwal, namun kelaziman di Indonesia hari lahir (mawlid) RasululLah diperingati dalam 3 bulan berturut-turut: Rabiulawwal, Rabiulakhir dan Jumadilawwal, yaitu dalam bulan ke-3, ke-4 dan ke-5 penanggalan Hijriyah. Bentuk peringatan itu juga bermacam-macam, seperti misalnya mulai dari bentuk membaca riwayat Nabi karya Ja'far Al Barzanji, ataupun dalam bentuk ceramah, sampai kepada diskusi-diskusi. Tidak ketatnya waktu dan bentuk peringatan itu dapat dimaklumi oleh karena dalam Al Quran tidak ada suruhan untuk memperingati kelahiran RasululLah, demikian pula di dalam sunnah, beliau tidak pernah menyuruh ummatnya untuk aktivitas tersebut.
Walaupun tidak ada dalam Al Quran maupun dalam sunnah Nabi, kelahiran RasululLah itu diperingati juga, karena dalam Al Quran dan sabda Nabi tidak ada larangan untuk memperingati mawlid.*) Lagi pula sesungguhnya dalam peringatan itu disampaikan pesan-pesan yang bernilai Islam. Dan itu berarti peringatan mawlid itu merupakan sub-sistem dari sistem pendidikan Islam, yaitu pendidikan informal yang termasuk dalam jenis pendidikan lingkungan. Adapun pendidikan informal itu, suatu sistem pendidikan yang tidak menuntut persyaratan formal, baik bagi yang menyampaikan pesan, maupun khalayak yang akan menerima pesan. Demikian pula tidak ada kurikulum tertentu, juga tidak mesti pada tempat yang tertentu. 
Meskipun peringatan mawlid yang sifatnya informal itu tidak mempunyai kurikulum tertentu, namun biasanya ada dua thema sentral dari pesan-pesan dalam peringatan-peringatan itu. Yang pertama adalah dari S. Al Ahzab 21, laqad kaana lakum fie rasulilLahi uswatun hasanah, adalah bagi kamu pada diri RasululLah terdapat teladan yang baik. Dan thema yang kedua adalah dari S. Al Anbiyaa' 157, wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil'aalamien, dan tidaklah Kuutus engkau (hai Muhammad) untuk rahmat bagi beberapa alam (alam sekitar, sumberdaya alam dan lingkungan hidup). 
Sebenarnya ada thema lain yang kurang begitu diperhatikan dalam peringatan mawlid ini. Rasulullah SAW pada waktu hijrah tiba di Madinah dalam bulan Rabiulawwal. Dengan demikian dilihat dari segi bulan, yaitu Rabiulawwal, mawlid Nabi tidak dapat dilepaskan dari thema hijrah. Memang seperti kita telah maklumi bersama dilihat dari segi tahun, peristiwa hijrah itu dijadikan patokan perhitungan tahun dalam sistem Penanggalan Hijriyah. Akan tetapi RasululLah pada waktu hijrah tidaklah sampai di Madinah dalam bulan Muharram, melainkan dalam bulan Rabiulawwal. 
Dalam menyambut mawlid Nabi SAW, maka isi tulisan ini mengambil thema hijrah. Hijrah adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam da'wah risalah (message) RasululLah SAW. Perjuangan Nabi SAW untuk menegakkan kebenaran, membawa risalah, berlangsung dalam dua tahap, yaitu tahap Makkiyah dan tahap Madaniyah. Dalam tahap yang pertama yaitu di Makkah, adalah tahap pembinaan aqiedah, pembinaan pribadi Muslim. Ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Makkah, yang disebut dengan ayat-ayat Makkiyah, kalimatnya pendek-pendek berisikan materi keimanan. Dalam periode Makkah ini ummat Islam menjadi maf'ulun bih, obyek, bulan-bulanan. Yaitu ummat Islam hidup dalam suasana lingkungan yang penuh tekanan, siksaan dan terror. Keadaan lingkungan yang demikian itu ibarat palu godam yang menempa pribadi-pribadi Muslim di Makkah itu menjadi mantap aqiedahnya, tahan uji, tahan derita, bermental baja. Ujian akhir pembinaan aqiedah itu terlaksana 20 bulan sebelum hijrah, yaitu peristiwa Isra-Mi'raj RasululLah SAW. Keimanan ummat Islam di Makkah diuji, percaya atau tidak, beriman atau kafir terhadap peristiwa itu. Maka terjadilah kristalisasi ummat Islam. Ada yang lulus dalam ujian keimanan ini, tetapi tidak kurang pula kembali menjadi kafir. Ummat Islam secara kwantitas menurun, namun secara kwalitas meningkat. Mereka inilah yang menjadi kaum Muhajirin, orang-orang berhijrah, 20 bulan kemudian. 
Peristiwa hijrah merupakan titik balik perjuangan RasululLah dan ummat Islam. Yaitu dari keadaan yang maf'ulun bih, obyek, di Makkah berbalik menjadi faa'il, subyek, pelaku di Madienah. Kaum Anshar di Madinah bersama-sama dengan kaum Muhajirin yang dari Makkah membina masyarakat dan Negara Islam di Madinah. Ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Madinah, yang disebut dengan ayat-ayat Madaniyah, kalimatnya panjang-panjang dan berisikan pedoman-pedoman tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seruan-seruan ayat-ayat bukan lagi ya ayyuhalladziena aamanuw, hai orang-orang beriman, melainkan menjadi ya ayyuhannaas, hai manusia. 
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara disebutkan bahwa Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya dan Pembangunan Masyarakat Indonesia. Maka secara intuitif Bangsa Indonesia mencontoh metode yang telah dilaksnakan oleh RasuluLlah SAW seperti yang dibahas di atas: pembangunan aqiedah, yaitu pemabangunan manusia seutuhnya di Makkah, yang disusul dengan pembangunan masyarakat di Madinah. Itu persamaannya. Perbedaannya ialah metode pembangunan Nabi SAW dilaksanakan secara beruntun, seri, pembangunan manusia lebih dahulu. Setelah manusianya selesai dibangun, barulah dilaksanakan pembangunan masyarakat. Artinya manusia-manusia yang akan membangun masyarakat itu telah siap dan matang untuk membangun. Sedangkan yang kita lakukan sekarang, pembangunan manusia dengan pembangunan masyarakat dilaksanakan secara serempak, paralel. Dengan demikian ada manusia yang sudah siap dan matang untuk membangun, namun tentu ada pula yang belum siap dan matang untuk membangun, disuruh juga membangun. Maka akibatnya Badan Pengawas Keuangan, Irjen, dan pengadilan menjadi sibuk dibuatnya. Inilah efek sampingan dari berpacu dengan waktu. WaLlahu a'lamu bishshawab.

Kemasan, Kejiwaan dan Sekat

Kemasan, Kejiwaan dan Sekat

Obat-obat paten lebih mahal dari obat-obat generik. Penyebabnya yang utama adalah kemasan. Dengan kemasan ongkos produksi bertambah, sehingga harga jual lebih tinggi, mahal. Demikian pula barang dagangan yang lain, kemasan dibuat untuk menarik pembeli. Rumah-rumah pelacuran dikemas dengan label panti hiburan, untuk mendapatkan izin. Dalam hal ini ada istilah yang khas, pelacuran berselubung.
Itulah yang trjadi dalam kehidupan sehari-hari. Yang asli acapkali sengaja disembunyikan di balik kemasan. Oleh sebab itu perlu betul berhati-hati dalam hidup ini. Ada nasihat orang-orang tua dahulu, yang masih relevan hingga kini. Kalau ingin melihat keaslian wajah seorang gadis, lihatlah pada waktu baru bangun tidur, pada waktu sedang menuju sumur atau pancuran untuk mandi.
Ilmu jiwa menurut Al Quran, yang tentu saja berbeda dengan ilmu jiwa menurut Sigmund Freud, atau yang lain-lain, membuat klasifikasi kejiwaan dalam tiga tingkatan. Tingkat yang paling rendah adalah nafsun ammarah (S.Yusuf,53), tingkat menengah nafsun lawwamah (S.Al Qiyamah,2) dan tingkat tertinggi adalah nafsun muthmainnah (S.Al Fajr 27). Adapun nafsun ammarah adalah suatu kejiwaan (nafsun) yang bringas, yang primitif, yang merusak, yang umumnya menyangkut kepentingan biologis. Nafsun ammarah inilah yang menyebabkan malaikat protes ketika Allah bersabda kepada para malaikat: innie jaa'ilun fi l-ardhi khalifah, sesungguhnya akan kujadikan pengelola di atas bumi. Maka para malikat dalam nada protes menjawab: ataj'alu fiehaa, man yufsidu fiehaa, wa yasfiqu ddimaa, apakah Engkau menjadikan (manusia sebagai khalifah) di atasnya, yang merusak dan menumpahkan darah?
Dalam kehidupan sehari-hari kejiwaan jenis terendah ini dikenal dengan ungkapan hidup untuk makan. Dalam bahasa Indonesia istilah nafsu mempunyai konotasi yang negatif. Asal muasal konotasi negatif ini dari kejiwaan nafsun ammarah tersebut. Menurut bahasa Al Quran pengertian nafsun tidaklah berkonotasi negatif. Nafsun lawwamah adalah suatu kejiwaan yang dapat mengontrol diri untuk melawan, meredam, mengalahkan nafsun ammarah. Seorang pribadi dengan kejiwaan lawwamah ini, tidak mencuri bukan karena takut kepada polisi, melainkan karena kesadaran bahwa mencuri itu perbuatan jahat. Nasun lawwamah adalah sikap kejiwaan yang telah penuh dengan kesadaran. Adapun tingkat kejiwaaan yang tertinggi, nafsun muthmainnah, adalah suatu pribadi dengan sikap kejiwaan yang tenang, ibarat laut yang dalam. Nafsun ammarah sudah tidak dapat menembusnya ke atas. 
Nafsun ammarah tidak boleh diberi lahan untuk bertumbuh. Harus diciptakan lingkungan yang tidak memungkinkan nafsun ammarah ini bergerak. Akan tetapi dalam kehidupan kampus malahan nafsun ammarah ini diberi lahan untuk bergerak. Yaitu dikemas dengan apa yang kita kenal dengan Mapram, Opspek. Adapun kemasan yang berwujud opspek ini tampaknya bagus, akan tetapi apa yang ada dalam kemasan adalah lahan untuk nafsun ammarah, kebringasan, keprimitifan.

Setiap orang, setiap kelompok, mempunyai kebanggaan tentang identitas kelompoknya. Apakah kelompok itu suatu bangsa, akan mempunyai kebanggan nasional. Apakah itu kelompok pakar, akan mempunyai kebanggaan disiplin ilmu. Namun kebanggaan itu, apakah itu kebanggaan nasional, ataupun kebanggaan disiplin ilmu, jangan sampai kebanggaan itu menjadi sekat. Kebanggaan nasional tidak boleh menjadi sekat di antara bangsa-bangsa, karena bangsa-bangsa itu bersaudara dalam ruang lingkup kemanusian. Demikian pula kebanggaan disiplin ilmu itu tidak boleh menjadi sekat di antara disiplin-disiplin ilmu, karena disiplin-disiplin ilmu itu bersaudara dalam ruang lingkup keilmuan.

Dalam pembangunan memang penting iptek. Tetapi dengan iptek saja tujuan pembangunan tidak akan dicapai. Sebab yang dibangun bukanlah melulu bangunan-bangunan fisik. Adapun bangunan-bangunan fisik yang memerlukan iptek itu, hanyalah tujuan antara. Tujuan pembangunan adalah membangun manusia yang beradab, yang utuh. Dengan iptek saja tidak mungkin sampai kepada tujuan tercapainya manusia yang beradab dan utuh. Perlu disiplin ilmu yang lain, ya kesehatan, ya ekonomi, ya pertanian, ya sosial, ya politik, ya hukum, ya budaya, ya dan lain-lain. Semuanya penting, semuanya membentuk satu sistem. Tidak boleh ada sekat di antaranya.
Apa yang terjadi dalam tragedi Kampus Unhas Tamalanrea yang sangat memalukan, sangat memilukan, sangat disesalkan, adalah berpangkal dari adanya lahan bagi nafsun ammarah yang dikemas dengan opspek, dan dari adanya sekat di antara disiplin-disiplin ilmu, adanya dinding-dinding di antara fakultas-fakultas.
Maka untuk menghindari terulangnya kembali tragedi itu, opspek harus dihapus, sekat harus dihilangkan. Secara teknis dalam tahun pertama dibuat struktur gugus untuk menghilangkan sekat. Para mahasiswa dari bermacam-macam disiplin ilmu dicampur baur, tidak ada sekat. Struktur gugus dipertahankan hingga penyajian materi universitas, sebagai orientasi pengenalan kampus. Kemudian struktur gugus ini dilanjutkan dalam semester selanjutnya. Mata Kuliah Dasar Umum. Dalam MKDU ini para mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu dicampur, terjadi sosialisasi di antara para mahasiswa dari berbagai jenis disiplin ilmu. Kalau perlu dalam kurikulum diberikan semacam Studium Generale atas dasar kijken tussen de bomen, melihat di celah-celah pohon. Setiap disiplin ilmu saling melihat di antara celah-celah. 
Akhirulkalam marilah kita simak Firman Allah: -- FattaquLlaaha washlihuw dzaata baynikum, Maka taqwalah kepada Allah dan benahilah, perbikilah bengkalai yang ada di antara kamu. (S. Al Anfaal, 1). WaLlahu a'lamu bishshawab.

Kemanusiaan, Kebangsaan dan Keetnikan

Kemanusiaan, Kebangsaan dan Keetnikan

Baiklah kita mulai dengan yang ringan-ringan dahulu, yaitu cerita silat. Tokohnya seorang pendekar pedang yang buta Zato Ichi. Film ini terdiri atas beberapa seri. Ilmu silat pendekar buta ini lain dari yang lain. Caranya memegang pedang seperti memegang pisau, lebih banyak menusuk ketimbang menebas. Dalam salah satu seri Zato Ichi berkerja sama dengan dengan seorang samurai, yang tentu saja pendekar pedang juga, ya pendekar samurai. Keduanya mencari seorang pelukis yang diculik oleh sekelompok pengacau. Walaupun keduanya bekerja sama tetapi dengan motif sendiri-sendiri. Motivasi Zato Ichi adalah kemanusiaan, mempertemukan seorang balita dengan ayahnya, si pelukis itu. Balita itu anak yatim, ibunya meninggal, ayahnya diculik. Pendekar samurai itu adalah petugas kerajaan, mencari pelukis itu karena melanggar ketertiban. Lukisannya yang porno menyebar diperjual-belikan. 
Setelah keduanya berhasil melumpuhkan kelompok pengacau itu, terjadi pertikaian antara Zato Ichi dengan petugas itu. Zato Ichi ingin agar pelukis itu bebas. Alasannya ia melukis yang porno karena dipaksa. Lagi pula ada anaknya yang masih balita yang mesti dipelihara. Petugas kerajaan ingin menangkap pelukis itu untuk diadili, karena sudah melanggar hukum. Pertikaian diselesaikan dengan pedang. Akhirnya petugas kerajaan mengalah, walaupun keduanya sama-sama unggul bermain pedang.
Dalam cerita silat itu terjadi pertentangan antara kemanusiaan dengan rule of law, bagian dari disiplin nasional, salah satu unsur dari kesadaran berbangsa. Ringkasnya pengarang mempertentangkan kemanusiaan dengan kebangsaan, walaupun aklhirnya pengarang memenangkan kemanusiaan.
Sebuah cerita lagi, Taras Bulba, seorang pemimpin dan panglima perang dari etnik Kazak. Yang berperang untuk membebaskan etniknya dari Kerajaan Polandia. Cerita ini difokuskan pada pengepungan sebuah benteng Polandia oleh Taras Bulba. Seperti lazimnya waktu itu benteng tidak hanya dihuni oleh para serdadu, tetapi juga orang-orang sipil bermukim di dalamnya. Anak Taras
Bulba yang ditugaskan menyusup ke dalam benteng tidak tahan melihat penderitaan, anak-anak, perempuan, orang-orang jompo yang memperebutkan tikus yang baru berhasil ditangkap, untuk dimakan. Mereka itu kelaparan, korban perang, yang mereka tidak tahu menahu tentang perang itu. Lalu tanpa memberitahu ayahnya, ia menghalau sekawan ternak mendekati benteng keesokan harinya. Orang-orang Polandia di dalam benteng berhasil mendapatkan ternak potong itu. Akhir cerita Taras Bulba mengeksekusi anaknya karena pengkhianatan. Dalam cerita Taras Bulba ini kemanusiaan dipertentangkan dengan keetnikan, dan yang dimenangkan adalah keetnikan.
Dalam cerita Ramayana lain lagi. Rahwana menculik Shita, isteri Rama. Terjadi perang. Adik Rahwana yang bernama Kumbakarna, walaupun tahu dan mengakui kakaknya salah, ia tetap membela kakaknya. Prinsip Kumbakarna, right or wrong my country. Tidak sama dengan adik yang paling bungsu Wibiksana. Ia mengkhianati kakaknya dan memihak Rama. Ya untuk membela keadilan dan kebenaran, unsur penting dalam kemanusiaan. Dalam Ramayana ini kemanusiaan dipertentangkan dengan kebangsaan. 
Semestinya ketiga pengertian dalam judul di atas berjenjang turun bertangga naik. Ruang lingkup dan kedudukan kemanusiaan harus lebih luas dan lebih tinggi dari kebangsaan. Demikian pula kebangsaan harus lebih luas dan lebih tinggi dari keetnikan. Inilah yang disebut berjenjang turun. Sebaliknya keetnikan tidak boleh memecah kebangsaan dan demikian pula kebangsaan tidak boleh menginjak-injak kemanusiaan. Inilah yang disebut dengan bertangga naik. 
Dalam Dasar Negara Republik Indonesia, Kemanusiaan yang adil dan beradab kedudukaannya lebih tinggi dari Persatuan Indonesia. Nilai kemanusiaan lebih tinggi dari nilai kebangsaan. Kebanggaan berbangsa dan bertanah air Indonesia tidak boleh melampaui batas daerah ruang lingkup nilai kemanusiaan, bahwa bangsa-bangsa di dunia ini bersaudara, bahwa bangsa Indonesia tidak lebih dan tidak kurang dari bangsa lain. Selanjutnya nilai keetnikan diterima sebagai suatu kenyataan. Tetapi bukan keetnikan yang liar, melainkan keetnikan dalam ruang lingkup kebangsaan, Persatuan Indonesia. Nilai keetnikan itu dinyatakan dalam ungkapan: Binneka Tunggal Ika. Yang dalam nilai budaya etnik Makassar a'bulo sibatang, membuluh sebatang. Ruas-ruas dalam sebatang buluh melambangkan etnik yang berbeda-beda, tetapi merupakan sebuah kesatuan dalam sebatang buluh. Atau dalam ungkapan etnik Selayar: a'munte sibatu, melimau sebiji. Biji-biji limau melambangkan etnik-etnik yang berdempet diikat kesatuan oleh kulit limau. 
Kalau dalam ketiga cerita di atas itu terjadi pertentangan antara kemanusiaan, kebangsan dan keetnikan, ya itu hanya dalam cerita. Tapi dalam zaman modern ini, pertentangan itu betul-betul dalam kenyataan. Etnik Serbia menginjak-injak kemanusiaan, dan celakanya pula yang menjadi korban keganasan etnik Serbia ini adalah ummat Islam Bosnia-Herzegovina. Hitler, Fuehrer Nazi Jerman, menempatkan kebangsaan di atas kemanusiaan dengan kalimat terkenal: Deutchland ueber alles. Hitler ini menginjak-injak kemanusiaan dan korbannya adalah orang-orang Yahudi yang hidup secara eksklusif, yang mempunyai kebanggaan etnik, yang menganggap etniknya adalah etnik pilihan Tuhan.
Semestinya Yugoslavia (baca: Serbia Monte Negro) tidak perlu diundang untuk menghadiri KTT GNB, yang pada mulanya menyatakan tidak akan ikut KTT GNB, yang dengan tiba-tiba pula kemudian menyatakan akan menghadirinya juga. Alasan bahwa negara ini mempunyai hak diundang karena masih anggota GNB, sebenarnya bertolak dari asumsi yang lemah. Hak itu didapatkan dengan memenuhi kewajiban. Yugoslavia (baca: Serbia- Monte Negro) telah lalai melakukan kewajiban kemanusiaan, itu berarti dia sendiri telah menggugurkan haknya. 
Akhirnya ada suatu catatan sejarah yang kiranya sukar untuk dilampaui begitu saja. Yaitu pidato Bung Karno dalam forum Sidang Majelis Umum PBB pada 1 September 1960, yang merupakan picu terbentuknya GNB setahun kemudian. Pidato Bung Karno itu berjudul To build the world anew. Dalam permulaan pidatonya itu Bung Karno mengutip Firman Allah, S. Al Hjuraat, 13:
-- Yaa ayyuhanaas innaa khalaqnaakum min zakarin wa untsaa wa ja'alnaakum syu'uwban wa qabaaila lita'aarafuw inna akramakum 'inda Llaahi atqaakum,....
artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Bahwa sesungghnya yang paling mulia di antaramu ialah mereka yang lebih taqwa,....
S. Al Hjuraat, 13 menjelaskan ansinitas bertangga turun, paling atas nilai Ketaqwaan, turun kebawah nilai Kemanusiaan, turun ke bawah nilai Kebangsaan, turun ke bawah nilai Keetnikan.
Dua hari lagi KTT GNB akan dibuka di Jakarta. Mudah-mudahan Allah berkenan, sehingga membawa manfaat utamanya untuk kemanusiaan. WaLlahu a'lamu bishshawab.

Memanfaatkan Kesempatan Sekilas

Memanfaatkan Kesempatan Sekilas

Ungkapan judul di atas jauh dari pengertian yang mempunyai konotasi yang negatif: mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Ungkapan judul di atas tidak menjurus kepada konotasi yang negatif itu, melainkan ke arah yang positif, yang baik-baik.
Masih ingat pertemuan tiga tokoh di telaga Mawang? Lu'muka ri Antang attunu kaluru' battu ri saraungna (menyulut rokok pada titik air tudungnya), Datoka ri Pa'gentungang attunu kaluru' ri kila' ta'bebea (menyulut rokok pada kilat yang menyambar) dan Tuanta Salamaka attunu kaluru' irawa je'ne ri tamparang la'bayya Mawang (menyulut rokok ke dalam air telaga Mawang). Di balik cerita yang berbungkus mistik itu tersirat ibarat sebuah pesan yang penting dari pengarang "Pau-pauanna Tuanta Salamaka (Hikayat Tuan nan Selamat). Datoka ri Pa'gentungang adalah personifikasi seorang atau sekelompok orang, atau suatu bangsa yang sigap memanfaatkan sekilas peristiwa yang terlintas di depannya. Bangsa Indonesia telah memanfaatkan sekilas peristiwa kevakuman kekuasaan untuk memaklumkan proklamasi kemerdekaan.
Dalam skala yang kecil, yaitu perorangan Sir Isaac Newton tergolong di dalamnya. Dia memanfaatkan sekilas peristiwa jatuhnya appel dari pohonnya. Dia dapat menangkap makna appel yang jatuh itu dari segi fisika. Appel jatuh karena ditarik bumi. Bumi dan semua benda mempunyai kekuatan menarik. Inilah pangkal mula terungkapnya salah satu TaqdiruLlah yang mengontrol alam semesta: gravitasi. 
Bahkan ada seorang lain memanfaatkan sekilas peristiwa yang bukan nyata, melainkan dari mimpi. Jangan dikacaukan dengan penafsiran mimpi untuk menebak nomor perjudian SDSB. Orang itu bernama Singer, seorang tukang jahit. Menjelang akhir tahun bertumpuk pesanan jahitan untuk keperluan tahun baru. Dalam keadaan pusing bagaimana ia dapat menyelesaikan pesanan jahitan yang bertumpuk itu, ia bermimpi dikejar-kejar orang yang mengancamnya dengan tombak. Dalam mimpinya ia ingat betul melihat ujung tombak itu berlubang. Setelah terjaga esok paginya ia menangkap makna ujung tombak yang berlubang itu. Singer lalu membuat jarum bukan pada pangkalnya seperti yang lazim, melainkan pada ujungnya yang runcing seperti tombak berlubang itu. Dan inilah kisah awal mula mesin jahit Singer.
Sebenarnya setiap orang pernah mengalami pemanfaatan sekilas peristiwa ini sekurang-kurangnya untuk dirinya sendiri, di luar bidang bisnis dan politik, seperti Newton dan Singer itu. Saya juga mempunyai pengalaman memanfaatkan sekilas peristiwa dalam bidang pemahaman ayat Al Quran, untuk memenuhi hasrat kepuasan intektual. 
Di dalam kehidupan beragama ketenteraman batin dan kepuasan intelektual keduanya merupakan satu kesatuan. Bahkan, ketenteraman batin tidak mungkin akan tercapai puncaknya, jika kepuasan intelektual tidak terpenuhi, karena manusia itu adalah makhluk berpikir. Pribadi yang telah mencapai puncak ketenteraman batin disebut muthmainnah. Dialog antara Allah dengan Nabi Ibrahim AS memberikan gambaran yang jelas tentang ketenteraman qalbu harus didahului oleh terpenuhinya hasrat intelektual itu.
Wa idz qaala Ibrahiemu Rabbi arinie kayfa tuhyi lmautaa, qaala awalam tu'min, qaala balaa walaakin liyuthmainna qalbie artinya, Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: "Wahai Maha Pengatur, perlihatkan padaku bagaimana Engkau menghidupkan yang mati". (Allah) berkata: "apakah engkau tidak percaya?" Berkata (Ibrahim): "Saya percaya, hanya saja untuk menenteramkan qalbuku".
Dalam ayat di atas pernyataan Ibrahim "bagaimana Engkau menghiduupkan yang mati" adalah tuntutan hasrat kepuasan intelektualnya untuk mendapatkan ketenteraman (liyuthmainna) qalbunya. Orang yang telah mendapatkan ketenteraman qalbu melalui pemenuhan hasrat intelektual disebut "rusyd". 
***
Kembali kepada hal cerita tentang pengalaman saya memanfaatkan sekilas peristiwa dalam bidang pemahaman ayat Al Quran. Ada sebuah ayat yang penjelasannya dalam kitab-kitab tafsir yang sempat saya baca, belum memenuhi betul hasrat kepuasan inteketual saya. Yaitu S. Luqman, 29, yang bunyinya demikian: "Alam tara annaLlaaha yuwliju llayla fi nnahaari wa yuwliju nnahaara fi llayli", artinya: Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Ada tafsir yang menjelaskan makna ayat itu dengan ayat pula: "Yukawwiru llayla 'ala nnahaari, wa yukawwiru nnahaara 'ala llayli." Kata yukawwiru dalam ayat di atas asal katanya kawwara artinya menggulung sorban. Jadi kata kuncinya menggulung. Maka arti ayat di atas itu: (Allah) Menggulung malam atas siang dan menggulung siang atas malam (S. Az Zumar 5). Jadi tafsirnya adalah: Terjadinya siang dan malam karena proses menggulung. Kita manusia yang ada di permukaan bumi bergerak menggulung mengikuti gerak perpusingan bumi pada sumbunya. Pada waktu kita berada pada permukaan bumi yang separuh kena cahaya matahari, maka itulah siang. Dan sebaliknya pada waktu kita berada pada separuh permukaan bumi yang gelap karena tidak kena cahaya matahari, itulah malam. 
Tafsir itu memang memenuhi hasrat kepuasan inteletual. Namu hanya untuk penjelasan S. Az Zumar 5 saja. Agak sukar kita terima untuk dijadikan pula penjelasan bagi S. Luqman 29 di atas itu. Tidak ada jembatan kesinambungan antara pengertian menggulung siang atas malam dengan memasukkan siang ke dalam malam. Artinya ada missing link diantara kedua pengertian menggulung dan memasukkan itu. 
Akhirnya saya memahami dengan puas makna ayat dalam S.Luqman 29 itu. Dan prosesnya sangat sederhana. Artinya bukan dengan jalan mengkaji kitab-kitab tafsir. Melainkan dengan memanfaatkan sekilas peristiwa, yang pada waktu itu saya dalam keadaan "relax". Pada musim panas di negeri Belanda tahun 1973, seorang Belanda manula, yang sama-sama menempati gedung pemukiman H.T.O. di Den Haag, menyapa saya dengan ucapan goeden avond yang berarti malam yang baik, atau selamat malam. Pada hal waktu itu matahari masih tinggi di atas ufuk, sekitar 30 derajat. Maklumlah di musim panas siang lebih panjang dari malam. Orang Belanda itu menyapa saya selamat malam pada hal hari masih siang. Buat saya inilah penjelasan memasukkan siang pada malam. 
Ya, selama ini sudah lama saya tahu dalam musim panas di daerah yang 4-musim, siang lebih panjang dari malam. Tetapi tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bahwa inilah penjelasan S. Luqman 29. Sangat sederhana penjelasannya, dan memenuhi hasrat kepuasan intelektual saya. Sama dengan Newton, tentu sudah lama ia pernah menyaksikan buah yang jatuh, tetapi baru waktu berbaring bersantai menyaksikan appel jatuh, terus terlintas dipikirannya sebagai penjelasan tentang penyebab appel itu jatuh. Yaitu kekuatan menarik bumi, gravitasi. 
Ya, menyulut rokok pada kilat yang berkilas, seperti yang dilakukan oleh Datoka ri Pa'gentungang dalam "Pau-pauanna Tuanta Salamaka (Hikayat Tuan nan Selamat). Mendapatkan jawaban pertanyaan dalam keadaan relax, yang telah dipikrkan selama ini. WaLlahu a'lamu bishshawab.

Setengah Gelas Kopi, Proses dan Hasil Akhir

Setengah Gelas Kopi, Proses dan Hasil Akhir 

Ada ciri khas yang menunjukkan perbedaan antara eksakta dengan non-eksakta. Di bidang eksakta apabila A tidak sama dengan B, jika A benar, maka B mesti salah. Akan tetapi dalam bidang non-eksakta jika A tidak sama dengan B, apabila A benar, maka B belum tentu salah. Contohnya: Menanak beras dengan menanak nasi. Itu adalah ungkapan dalam berbahasa, jadi termasuk yang non-eksakta. Sehingga jika menanak beras yang betul, maka menanak nasi belum tentu salah. Ungkapan di atas itu kedua-duanya benar. Jika orientasinya proses, maka yang relevan adalah menanak beras, yaitu membuat supaya beras itu dapat dimakan dengan jalan menanak. Akan tetapi jika orientasinya adalah output, hasil yang ingin dicapai, objective, maka yang relevan adalah menanak nasi.
Setengah gelas air kopi. Kita dapat katakan, bahwa gelas itu setengah penuh. Juga tidak salah jika dikatakan setengah kosong. Tetapi dari segi proses itu berbeda. Apabila pada mulanya gelas itu kosong kemudian diisi kopi sampai setengahnya, maka itu adalah setengah penuh. Lain halnya jika pada mulanya gelas itu penuh dengan kopi, kemudian kopinya diminum setengahnya, maka gelas itu setengah kosong. Walaupun proses berbeda, namun hasil akhir sama. Jadi jika orientasinya adalah proses, maka setengah penuh tidak sama dengan setengah kosong. Gelas dengan setengah penuh dengan kopi, bukan sisa. Tetapi gelas yang setengah kosong, berarti kopi yang di dalamnya adalah sisa. Dalam hal yang terakhir ini umumnya mubazzir, kopi itu dibuang, karena umumnya orang tidak mau minum sisa. Sedangkan kalau orientasinya pada hasil akhir, output, setengah penuh dengan setengah kosong tidak berbeda. Kedua umgkapan itu disederhanakan menjadi setengah gelas kopi.
Ada pepatah Belanda yang berbunyi: Het gaat niet om de knikker, maar om 't spel. Bukan masalah kelerengnya, melainkan cara mainnya. Pepatah itu berorientasi pada proses. Namun dalam MBO, Management By Objectives, yang penting adalah hasil akhir, objective. Proses tidak begitu penting. Cara mencapainya diserahkan kepada pelaksana. Dan tentu ini dapat saja menjurus kepada yang negatif, yaitu prinsip Machiavelli: Tujuan menghalalkan segala cara. 
Dalam hal Undang-Undang No.14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kelihatannya lembaga-lembaga pembuat undang-undang tersebut, yaitu lembaga legislatif dan eksekutif, nampaknya berorientasi utamanya kepada objective, hasil yang ingin dicapai, pokoknya tujuan UU Lantas itu baik. Kalau dipikir-pikir, kelihatannya pola pikir ini logik. Pembuatan undang-undang itu, tidak perlu berorientasi pada proses. Mengapa? Bukankah melalui pemilu aspirasi rakyat diwakilkan kepada para wakil yang dipilihnya? Apapun produk lembaga hasil pilihan rakyat itu logikanya mesti diterima oleh rakyat. Kenapa mesti ribut-ribut. Mestinya yang ribut itu adalah golput, yang merasa aspirasinya tidak diwakili oleh lembaga hasil pemilu itu, karena mereka memang tidak ikut memilih. Yang bukan golput, logikanya ya diam saja, tidak perlu ribut-ribut. Namun undang-undang itu bukan bidang eksakta, melainkan non-eksakta. Kalau dalam bidang eksakta, maka itu tunduk pada hukum-hukum logika. Di bidang non-eksakta hukum-hukum logika tidak berlaku secara umum. Buktinya? Ya apa yang dibahas di atas itu. Sekiranya hukum logika itu berlaku secara umum dalam bidang non-eksakta, maka orang-orang yang ikut memilih dalam pemilu tidak akan ribut. Kenyataannya ribut, jadi logika di sini tidak berlaku. 
Oleh sebab itu proses sama pentingnya dengan hasil akhir. Sudah ada contoh sebelumnya, yaitu Undang-Undang Peradilan Agama. Sebelum diundangkan, artinya pada waktu masih dalam taraf rancangan, dilempar dahulu secara terbuka kepada masyarakat. Masyarakat ikut dilibatkan dalam proses. Seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah dalam persiapan atau prolog Perang Uhud. Masyarakat Madinah diikut sertakan dalam tahapan proses. Seharusnya proses pembentukan UU Lantas ini bercermin pada pembentukan Undang-Undang Peradilan Agama. Sudah ada cermin proses yang bagus. Mengapa mesti lagi buat terobosan baru, diputuskan secara tertutup dahulu, ada hasil baru dibuka. Nah, ributlah orang. Untung saja menurut para pakar hukum masih ada reserve, yaitu Peraturan Pemerintah. Hal-hal yang masih kurang dalam undang-undang itu masih dapat ditanggulangi dalam Peraturan Pemerintah. Syukurlah, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerinah Pengganti Undang Undang No.1, tahun 1992, untuk menunda pelaksanaan UU Lantas itu selama setahun. Itu berarti bahwa pemerintah bersikap terbuka dalam proses pembuatan Peraturan Pemerintah yang sementara digodok itu. Sayangnya proses pembuatan UU Lantas dengan proses tertutup itu telah mengeluarkan energi, yang semestinya tidak perlu dikeluarkan, tidak efisien. Sama halnya dengan hanya melihat hasil akhir, kopi setengah gelas. Belakangan ketahuan bahwa setengah gelas itu adalah setengah kosong, artinya setengahnya habis diminum. Dan itu sisa, lalu kopinya dibuang, jadi tidak efisien. Tetapi tentu saja ini lebih baik dari: Sesal kemudian tidak berguna. 
Jadi pada pokoknya, dua-duanya penting. Materi keputusan sebagai tujuan penting, dan juga proses tidak kurang pentingnya. Dalam Al Quran hal tersebut jelas disebutkan. Misalnya materi tentang larangan makan harta orang dengan batil. Bagaimana proses makan harta orang itu? Yakni dengan proses membawanya ke dalam sidang pengadilan, ke muka hakim, yang dewasa ini sudah mempunyai kecenderungan dalam taraf mendekati globalisasi, dengan ungkapan mafia peradilan. Sekadar data, di Indonesia saja menurut Menkeh Ismail Saleh, sudah 266 hakim nakal yang ditindak. 
Firman Allah: Wa laa ta'kuluw amwalakum baynakum bi lbaathili, wa tudluw bihaa ila lhukkaami lita'kuluw farieqan min amwaali nnaasi bi l-ismi, wa antum ta'lamuwn, artinya: Dan janganlah kamu makan harta orang di antaramu dengan batil, yaitu dengan membawanya di depan para hakim, dan dengan demikian dapatlah kamu makan harta orang lain dengan berdosa, padahal kamu mengetahuinya (S. Al Baqarah, 188). WaLlahu a'lamu bishshawab.

Air Bah, Erosi dan Sedekah

Air Bah, Erosi dan Sedekah

Masih ingat Daur Hidrologik? Air bah dan erosi ini berhubungan dengan daur tersebut. Kalau dalam pembicaraan mengenai penaburan awan, bagian daur itu menyangkut perjalanan air dari awan turun ke bumi, maka dalam hal ini bagian daur itu menyangkut perjalanan air di atas permukaan bumi. Pembagian kwantitas air yang masuk ke dalam tanah dengan air yang di atas pemukaan tanah, tergantung dari keadaan permukaan bumi. Jika lapisan tanah tebal dan banyak akar-akar pepohonan di dalamnya, lebih banyak air yang masuk meresap ketimbang air yang tertinggal di atas permukaan tanah. 
Apabila air di atas tanah sedikit yang tertinggal, air yang mengumpul di sungai-sungai mengalir dengan jinak. Tetapi sebaliknya apabila lapisan tanah tipis, lagi pula di dalamnya tidak terdapat akar pepohonan yang mampu meresapkan dan menahan air, maka air yang tertinggal di atas permukaan bumi menjadi banyak. Jika terjadi hal yang demikian itu, air tidak hanya menempati lekuk dan alur sungai, melainkan melimpah dan menyapu secara menyeluruh. Itulah yang disebut banjir. Pada dataran rendah di hilir, banjir itu berwujud genangan air dan di udik di tempat yang miring utamanya di lereng-lereng gunung, air itu mengalir menjadi menjadi ganas, dan itulah yang disebut air bah. Jadi supaya hujan itu membawa Rahmat Allah, lapisan tanah harus tebal, dan harus banyak akar pepohonan di dalamnya. Itulah gunanya hutan. Daun-daunan yang gugur menjadi busuk menjadi bunga-tanah. Itu mempertebal lapisan tanah. Hutan yang lebat menghasilkan bunga-tanah yang tebal dan banyak akar di dalamnya. Walhasil hutan lebat mencegah banjir. Itu di udik, di pegunungan yang berhutan.
Bagaimana kalau di hilir? Pada umumnya di hilir terdapat hutan jenis lain, hutan rekayasa, hutan yang dibangun oleh teknologi, Yaitu hutan yang bukan dari pepohonan, melainkan hutan dari bangunan-bangunan menjulang, dengan akar-akarnya berupa tiang-tiang pancang dari beton, ataupun dari jenis cakar ayam. 
Permukaan tanah ditutupi pelataran-pelataran parker, jalan-jalan beraspal, ataupun trotoar dari batu. Apa hasilnya jika dilihat dari segi berwawasan lingkungan? Pembagian air hujan yang meresap ke dalam tanah dengan yang tertinggal di atas permukaan tanah, sebaliknya dari di udik. Lebih banyak di atas tanah, karena air tidak diberi kesempatan masuk meresap ke dalam. Artinya kalau turun hujan lebat akan terjadi banjir. Maka digalilah kanal, seperti misalnya di kota Makassar ini untuk menanggulangi luapan air hujan yang disebut banjir itu. Hasilnya? Tergantung
kalkulasi, hitung menghitung dari para pakar berdasarkan perkiraan curah hujan yang langsung dan banjir kiriman hujan dari hulu dan terobosan air pasang dari laut. Kalau Allah murka kepada penduduk kota karena terlalu banyak melakukan maksiat, maka Allah akan menurunkan hujan lebat di hulu bersamaan dengan hujan lebat di kota, bersamaan dengan pasangnya air laut di bulan penuh, maka kanal yang digali itu percayalah tidak akan mampu menampung limpahan air itu. Tidak banjirpun kalau air kanal tidak mengalir dengan baik, akan menjadi semacam laut hitam, seperti di belakang salah satu panti asuhan di Pannampu. Istilah laut hitam ini saya pinjam dari istilah sindiran penduduk di sekitar tempat itu.
Jadi dilihat dari segi berwawasan lingkungan, maka di udik harus lebat hutan pepohonan, tetapi sebaliknya di hilir harus dikurangi pertumbuhan hutan rekayasa teknologi. Kalau di udik hutan-hutan dibabat secara liar apakah itu berupa lahan perkebunan secara liar, ataupun dibabat dengan sah melalui jalur hukum berupa HPH untuk industri kayu, maka hasilnya adalah banjir di udik dan banjir di hilir. 
***
Erosi berhubungan dengan banjir yang berwujud air bah di udik. Gunung-gunung yang hampir gundul, menghampiri bahkan sudah mencapai keadaan kritis, keadaan pemukaan bumi menyedihkan. Bunga-tanah berkurang, akar-akar berkurang, akibatnya lereng gunung dikikis air yang mengalir. Pengikisan tanah oleh air mengalir dengan ganas inilah yang disebut erosi. Pengikisan yang terus menerus menghabiskan lapisan tanah di lereng-lereng gunung. Tanah-tanah ini dibawa air ke sungai-sungai yang menyebabkan pendangkalan sungai-sungai di hilir.
Di dalam Al Quran pengikisan air yang menggundulkan permukaan bumi dan yang tertinggal hanyalah batu karang yang licin, dinformasikan sebagai bahan kiasan. Firman Allah menyangkut erosi itu tidaklah difokuskan benar kepada pengikisan tanah, melainkan dikiaskan kepada erosi amal sedakah. Adapun erosi pada permukaan bumi itu hanyalah sekadar berupa penjelasan bandingan dari erosi amal sedekah seseorang. 
Berirman Allah dalam S. Albaqarah, 264: Yaa ayyuha lladziena aamanuw laa tubthiluw shadaqaatikum bi lmanni wa l-adzaa kalladzie yunfiqu maalahu riyaa nnaasi wa laa yu'minu bi Llaahi wa lyauwmi l-aakhiri, famatsaluhu kamatsali shafwaanin 'alayhi turaabun fa ashaabahu waabilun fa tarakahu shaldan laa yuqdiruwna 'alaa syayin mimmaa kasabuw artinya, Hai orang-orang beriman, anganlah kamu batalkan amal sedekahmu, dengan cara menyiarkan (kepada umum) dan melukai perasaan (yang diberi sedekah), seperti cara menyumbang dengan penampilan (riya) dari orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Adapun cara yang demikian itu ibarat batu karang licin yang di atasnya terdapat lapisan tanah diguyur oleh curahan hujan yang lebat yang memberikan bekas tanah hanyut dan tinggallah batu karang licin yang gundul, maka demikian pulalah keadaan amal sedekahnya hilang tidak ada yang tinggal.
Sedikit catatan tambahan. Adapun kebiasaan mengumumkan di masjid-masjid nama-nama penyumbang masjid menjelang shalat Jum'at, itu bukanlah termasuk riya, karena tujuannya bukanlah untuk penampilan, melainkan sebagai pertanggung-jawaban keuangan dari panitia atau pengelola masjid. Lain hal misalnya ada Dharma Wanita yang menyumbang panti asuhan, kemudian di-shooting untuk disiarkan di TV, itulah yang termasuk pengertian al mannu, menyebut-nyebut, menyiarkan. WaLlahu a'lamu bishshawab.

Menegakkan Benang Basah

Menegakkan Benang Basah      

AlhamduliLlah, rakyat Iraq luput dari bencana. Hampir saja rakyat Iraq menderita lagi. Hasil pemeriksaan team pemeriksa Dewan Keamanan tidak mendapatkan apa-apa yang mencurigakan dalam Gedung Departemen Pertanian Iraq. Lalu kalau memang tidak ada apa-apa dalam gedung itu, buat apa permainan yang berbahaya itu? Untuk apa Saddam Husain membuat sensasi itu?   Melalui pertumpahan darah, Saddam Husain berhasil merebut tampuk kekuasaan di Baghdad. Pada 17 Juli 1968 Saddam Husain bersama Ahmad Hasan Bakir berhasil menyingkirkan Abd. Rahman Arif dengan kudeta berdarah. Setelah Bakir meninggal karena serangan jantung tahun 1976, Saddam Husain menjadi penguasa tunggal Iraq, sampai sekarang. Saddam Husain memerintah dengan partai tunggal, Partai Ba'ats, yang berhaluan sosialisme kiri. Ba'ats dari akar kata ba, 'ain, tsa artinya bangkit.    
Setelah empat tahun menjadi penguasa tunggal Iraq, Saddam melihat kesempatan untuk menaikkan pamornya dalam kalangan bangsa-bangsa Arab. Yaitu tahun 1980 Saddam menyerbu Iran, yang waktu itu Iran sedang berbenah diri, sesudah Imam Khomeini berhasil menjatuhkan Syah Iran. Saddam mengira Iran adalah makanan empuk, karena Iran yang sedang berbenah diri itu belum sempat memperkuat angkatan perangnya. Lalu buat apa Saddam mencari popularitas menaikkan pamornya?    
Negara-negara Arab potensial bersatu padu melawan Israel. Celakanya, yang paling penting bukan persatuan itu, melainkan siapa yang akan memimpin persatuan melawan Israel itu. Ada tiga negara Arab yang potensial, yaitu Mesir, Syria dan Iraq. Setelah Mesir membina hubungan diplomatik dengan Israel, Mesir dikucilkan. Maka tinggallah dua negara yang bersaingan dalam kepemimpinan dunia Arab: Iraq dan Syria. Dalam semangat rivalitas inilah, tentunya akan mudah dipahami, mengapa Syria, yang juga dengan partai tunggal Partai Ba'ats, memihak Iran dalam perang Iraq-Iran dan berdiri dipihak pasukan multinasional dalam perang teluk.    
Dalam perang delapan tahun melawan Iran itu (1980 - 1988), Iraq babak belur, walaupun dibantu persenjataan modern oleh Amerika dan Uni Sovyet. Uni Sovyet membantu Iraq karena ideologi yang seiring. Amerika juga membantu Iraq, karena secara ideologis Iran adalah lawan Amerika, lagi pula Syah Iran, yang ditumbangkan oleh Imam Khomeini, adalah anak mas dan sekali gus pion dari Amerika.    
Karena babak belur itu Iraq tentu saja turun pamornya. Maka mulailah Saddam Husein menegakkan benang basah yang pertama. Pada hari Kamis 2 Agustus 1990 Saddam melancarkan Blitzkrieg atas Kuwait. Betul-betul Blitzkrieg, karena hanya membutuhkan waktu satu hari. (Blitz = kilat, Krieg = perang). Alasan yang nyata Iraq mengapa menyerang Kuwait adalah alasan ekonomis, mengklaim daerah minyak dalam wilayah Kuwait. Namun alasan yang tersirat, Iraq berusaha menaikkan pamornya yang telah turun itu. Inilah yang dimaksud dengan menegakkan benang basah. Benang kalau sudah terlanjur basah sangat sukar ditegakkan. Rupanya nenek moyang kita pencipta peribahasa itu tajam juga pengamatannya. Penyerangan atas Kuwait merupakan blunder, kesalahan yang bodoh. Alih-alih mau menegakkan benang yang sudah basah, membawa dampak yang sangat serius.    
Amerika Serikat yang begitu bernafsu menguasai Asia Kecil yang kaya minyak itu melihat kesempatan. Selama ini strategi Amerika hanya terbatas menciptakan Amerika Kecil di Asia Kecil untuk menanamkan kukunya. (Saya tidak pakai istilah Timur Tengah. karena itu berarti secara metaforis kita memenggal kepala kita sendiri, yaitu kepala kita letakkan di Amerika, kaki kita berpijak di Indonesia). Tentu kita semua sudah tahu siapa Amerika Kecil ini, yaitu Israel. Lalu dengan penyerangan Iraq atas Kuwait itu terbukalah pintu bagi Amerika, untuk terjun dalam lapangan. Melalui formalitas Dewan Keamanan, Amerika mempunyai alasan menjadi pahlawan pembela Kuwait terhadap kezaliman Iraq. Yang juga sekali gus pahlawan pelindung Arab Saudi dari kemungkinan serbuan Iraq. Arab Saudi tentu mau saja, biarlah orang-orang asing itu tewas dalam medan laga untuk melindungi negaranya. Arab Saudi mengeluarkan dana untuk itu? Tidak apa-apa,  itu artinya Raja Fahd ibarat membayar tentera sewaan, katakanlah Legiun Asing yang berperang untuk kerajaannya. Itukan terhormat! Maka pecahlah perang teluk.    
Setelah Saddam terdesak dalam perang teluk ia mulai lagi menegakkan benang basah yang kedua. Mengibarkan panji Islam. Memaklumkan perang suci, jihad fie sabieli Llah. Mana mungkin, Saddam yang begitu fanatik dengan Partai Ba'atsnya yang berideologi sosialisme kiri itu, lagi pula menyerang Republik Islam Iran, akan betul-betul secara ikhlas mengibarkan panji Islam. Dalam keadaan tersesak dan terdesak Saddam ingin memanfaatkan emosi keagamaan Ummat Islam sedunia. Hasilnya nihil, benang yang sudah terlanjur basah itu tidak dapat ditegakkan lagi.    
Maka untuk ketiga kalinya Saddam menegakkan benang basah. Membuat insiden dengan team pemeriksa Dewan Keamanan. Yaitu dengan menghalangi pemeriksaan terhadap Gedung Departemen Pertanian Iraq. Alasannya, itu melanggar kedaulatan Iraq. Kedaulatan apa yang akan dilanggar. Memang kedaulatan Iraq sudah dilanggar sejak Iraq kalah perang, sejak Iraq menandatangani persyaratan gencetan senjata. Semua persyaratan itu melanggar kedaulatan Iraq. Siapa suruh menyulut perang. Baru empat tahun memegang tampuk kekuasaan Iraq, Saddam sudah menyerbu Iran. Baru dua tahun berhenti perang dengan Iran, Saddam menyerbu Kuwait. Fahal 'asaytum lin tawallaytum an tufsiduw fi l-ardh? Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi? (S.Muhammad, 22).    
Setelah perang teluk Amerika berhasil masuk secara langsung ke Asia Kecil. Artinya Amerika tidak memerlukan Amerika Kecil lagi. Itulah sebabnya Amerika memprakarsai perundingan damai Arab-Israel. Pamor Amerika dapat naik sebagai pahlawan perdamaian. Walhasil perang teluk  yang disulut oleh Iraq dengan menyerbu Kuwait menguntungkan Amerika, menyengsarakan rakyat Iraq. Kita mengucap syukur, rakyat Iraq luput dari serangan yang sudah dipersiapkan oleh polisi dunia melalui formalitas Dewan Kemanan. Bush tidak jadi memanfaatkan ulah Saddam yang menegakkan benang basah untuk ketiga kalinya itu. Bush tentu saja sangat berambisi untuk mendapatkan alasan agar dapat menyerang Iraq. Dengan menyerang Iraq, Bush akan naik pamornya dalam ajang persaingan untuk menjadi presiden Amerika Serikat dalam masa jabatan kedua kalinya. AlhamduliLlah Bush tidak berhasil memanfaatkan kesempatan menyerang Iraq itu. Sekali lagi kita ucapkan alhamduliLLah, rakyat Iraq luput dari musibah penghancuran untuk kedua kalinya. Sekali lagi alhamduliLlah. WaLlahu a'lamu bishshawab.   

Kebebasan Memilih

Kebebasan Memilih    

Kebebasan memlih dalam pemilu? Bukan hanya dalam sekadar ruang lingkup sesempit itu, melainkan kebebasan memilih dalam skala makro yang akan dibicarakan. Ada yang datang pada saya membawakan salah satu Kitab Tafsir Al Quran dan memperlihatkan terjemahan S. Al Baqarah, 212:    
Wa Llahu yarzuqu man yasyaau, diterjemahkan dengan : Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendakiNya. Pada hal dalam tulisan Seri 038 yang baru lalu, terjemahannya demikian: Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang menghendaki (untuk mendapatkan rezeki).    
Di zaman pra-Islam ada dua aliran filsafat yang saling bertentangan. Di pihak yang satu berfaham bahwa manusia itu sama sekali tidak mempunyai ikhtiar apa-apa, Tuhanlah Yang aktif. Aliran ini menempatkan manusia dalam keadaan pasif sebenar-benarnya. Inilah Jabariyah, Fatalisme. Sedangkan pada pihak yang lain, yang bertolak belakang dengan aliran tersebut adalah faham Qadariyah. Faham ini walaupun masih percaya adanya Maha Pencipta, tetapi menganggap Tuhan dalam keadaan pasif, manusialah yang aktif dalam berkeinginan dan berikhtiar. Jadi setingkat di bawah faham Deisme, yang mengingkari komunikasi antara Tuhan dengan makhlukNya.    
Memang ada dua penafsiran ayat tersebut. Perbedaan ini terletak dalam hal siapakah yang menjadi fa'il (= pelaku) dari perbuatan yasyaau (= menghendaki) dalam ayat itu. Apakah Allah atau man. Pada penafsiran yang pertama, Allah Yang menjadi Fa'il. Dengan demikian ayat itu berarti: Allah memberi rezeki kepada orang yang (Allah) kehendaki, atau dengan ungkapan lain: dikehendakiNya. Penafsiran ini diwarnai oleh faham Jabariyah. Allah aktif, manusia pasif tanpa ikhtiar.    
Sedangkan pada penafsiran yang kedua, man = siapa, atau orang yang menjadi pelaku. Maka ayat itu berarti: Allah memberi rezeki kepada orang yang menghendaki (untuk mendapatkan rezeki). Penafsiran ini tidak diwarnai oleh faham Jabariyah. Juga tidak diwarnai oleh Qadariyah. Dalam penafsiran ini Allah aktif dan manusia aktif. Inilah faham Ahlussunnah.   
Sebenarnya ada ayat lain yang senada dengan ayat di atas itu, yakni: Wa Llaahu yahdie man yasyaau. (S. Al Baqarah 213) Yahdie artinya memberi petunjuk.    
Sudah dijelaskan dalam seri 023, yang berjudul 17 Ramadhan Nuzulu- lQuran?, bahwa dalam hal ada penafsiran yang berbeda, maka perbedaan itu harus diujicoba, jangan dibiarkan dalam keadaan status quo. Pendekatan Kitabiyah jangan seperti keadaannya dengan ilmu di zaman Yunani Kuno. Kalau dikatakan ini pendapat Socrates, ini menurut Anaxagoras, maka selesailah sudah, tetap dalam keadaan status quo. Inipun sudah dikemukakan dalam seri yang lalu, bahwa Pendekatan Kitabiyahpun jangan berhenti pada status quo, menurut qaul (pendapat) si Fulan begini, menurut si Fulan yang lain begitu.    
Sudah juga dijelaskan bahwa yang diujicoba bukan kebenaran ayat. Kebenaran ayat itu mutlak, sebab ayat itu bersumber dari Yang Maha Mutlak. Yang diujicoba adalah hasil penafsiran manusia, hasil pekerjaan akal manusia. Penafsiran itu harus diperhadapkan kepada ayat-ayat yang lain. Marilah kita rujukkan kedua penafsiran yang bertolak belakang itu terhadap ayat-ayat di bawah ini:    
Inna Llaaha laa yughayyiru maa bi qawmin hattaa yugayyiruw maa bi anfusihim. artinya: Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka itu mengubah keadaan dirinya. (Ar Ra'd 11)    
(Sedikit catatan, banyak yang menulis arti yughayyiru dengan merubah. Ini tidak betul. Rubah adalah binatang sejenis keluarga anjing, dalam bahasa Inggris disebut fox. Asal katanya ubah, mendapat awalan me+sengau ng menjadi mengubah).    
Ayat di bawah lebih mempertegas apa yang dimaksud dengan keadaan tersebut:    
Dzaalika bi anna Llaaha alam yaku mughayyiran ni'matan an'amahaa 'alaa qawmin hattaa yughayyiruw maa bi anfusihim. artinya: Demikianlah Allah tidak akan membuat perubahan untuk memberi ni'mat atas suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan dirinya. (Al Anfal 53)    
Jadi sudah jelas, bahwa yang dimaksud dengan keadaan adalah ni'mat Allah. Adapun ni'mat Allah dapat berupa petunjuk seperti dalam S. Al Baqarah 213 di atas, ataupun berupa rezeki seperti dalam S. Al Baqarah 212. Baik S. Ar Ra'd 11, maupun S. Al Anfal 35, keduanya tidak berpola Qadariyah juga tidak berpola Jabariyah. Allah memberikan ni'mat yang bersyarat. Syaratnya ialah siapa yang berusaha mengubah dirinya untuk mendapatkan ni'mat itu. Jadi Allah aktif, manusia juga aktif. Secara aktif, ni'mat Allah dipancarkan oleh Allah tak putus-putusnya, ibarat matahari yang memancarkan sinarnya ke sekelilingnya. Pada pihak yang lain manusia harus aktif pula berikhtiar untuk mendapatkan ni'mat Allah yang dipancarkan Allah itu. Ibarat seorang manusia yang ada di dalam gua yang gelap gulita, mana mungkin akan mendapatkan sinar matahari, apabila orang itu tetap tinggal di dalam gua itu. Ia harus berikhtiar, keluar dari gua untuk mendapatkan sinar matahari itu.    
Ayat-ayat rujukan di atas itu berhubungan dengan pola makna ayat, atau istilah canggihnya pola kontekstual. Berikut ini dikemukakan rujukan ayat mengenai pola redaksionalnya. Firman Allah dalam S. Ar Ra'd 27:    
Inna Llaaha yudhillu man yasyaau, wa yahdie ilayhie man anaaba sesungguhnya disesatkan Allah orang yang menghendaki (kesesatan) dan memberi petunjuk kepada orang yang tobat. Pola secara redaksional ini jelas. Man adalah pelaku perbuatan yasyaau dan anaaba.    
Jadi penafsiran yang dikukuhkan oleh hasil ujicoba di atas adalah Allah aktif dan manusia aktif seperti pola kontekstual yang ditunjukkan oleh S. Ar Ra'd,11 dan S. Al Anfal,35, dan pola redaksional yang ditunjukkan oleh S. Ar Ra'd,27. Dan pola Allah aktif, manusia aktif, inilah faham Ahlussunnah, dengan penafsiran seperti berikut:    
Allah hanya berkenan memberikan petunjuk kepada orang yang berkeinginan dan berikhtiar untuk mendapatkan petunjuk. Dan Allah hanya berkenan memberikan rezeki kepada orang yang berkeinginan dan berikhtiar untuk mendapatkan rezeki. Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihannya: Apa mau sesat di tempat yang gelap, atau berikhtiar mendapatkan petunjuk, mina zhzhulumaati ila nNur, dari kegelapan ke terang-benderang.    
Wa quli lhaqqu min rabbikum faman syaa.a falyu"min wa man syaa.a falyakfur, artinya: Kebenaran dari Maha Pengaturmu, siapa yang mau maka berimanlah, siapa uang mau maka kafirlah (S. Al Kahf, 29). Dengan kebebasan memilih itu manusia memikul tanggung jawab penuh atas hasil pilihan dan perbuatannya. Janganlah pula orang kafir itu mengatakan mengapa ia harus dihukum, bukankah ia menjadi kafir itu atas kehendak Allah? Allah Maha Adil, Yang menghukum manusia atas hasil pilihaan manusia itu sendiri. Manusia harus mempertanggung-jawabkan hasil pilihannya itu kepada Maaliki Yawmi dDien, Pemilik Hari Keadilan. WaLlahu a'lamu bishshawab.   

Menabur Awan

Menabur Awan 

Suatu Serendipitas Menabur awan adalah terjemahan dari seeding the clouds ataupun het enten van woken. Kedua ungkapan asing itu biasanya diterjemahakan dalam bahasa Indonesia dengan ungkapan  membuat hujan. Terjemahan ini dapat menyesatkan, lebih-lebih bagi mereka yang begitu kagum bercampur fanatik, yang hampir-hampir mengkultuskan iptek. Bagi yang tidak begitu mengetahui seluk-beluk hujan buatan itu dikiranya seenaknya saja hujan itu dapat dibuat.    
Hujan itu merupakan bagian dari apa yang disebut dalam dunia ilmiyah dengan ungkapan  daur hidrologik. Daur adalah suatu yang melingkar. Hidrologi adalah ilmu tentang seluk beluk tabiat air. Secara gampangnya, daur hidrologik itu dapat dijelaskan seperti berikut. Air hujan turun ke bumi, ada air yang langsung mengalir di atas permukaan bumi, yang disebut sungai. Ada yang masuk meresap dalam tanah, disebut air tanah. Di mana mungkin air dalam tanah mengalir membentuk sungai dalam tanah, dan yang sempat muncul di permukaan tanah disebut mata air, yang menjadi hulu sungai. Sungai- sungai di atas tanah bersama-sama dengan sungai-sungai di bawah tanah mengalirkan air ke laut. Di tengah jalan aliran air itu di beberapa tempat berhenti mengalir, untuk beristirahat sejenak di danau-danau. Air di laut di danau dan di sungai-sungai menguap ke udara, karena dipukul oleh radiasi matahari. Di udara air itu berwujud awan. Dari awan ini turunlah hujan. Demikianlah daur hidrologik itu melingkar terus.   Bagaimana proses terbentuknya hujan dari awan merupakan masalah yang musykil, memusingkan para pakar. Pasalnya ialah walaupun suhu awan sudah jauh di bawah titik beku, air masih berbentuk uap. Seharusnya dalam suhu yang rendah itu sudah terbentuk butir-butir kristal es  dari awan itu. Seorang pakar bernama John Aitken berteori bahwa kristal es baru dapat terbentuk apabila ada zat yang halus sekali apakah debu atau materi lain, yang menjadi inti butir- butir kristal itu. Tanpa zat halus itu tak mungkin terbentuk titik-titik kristal itu. Bermodalkan teori ini sejumlah pakar mengadakan penelitian dari tahun ke tahun tanpa hasil. Macam-macamlah zat yang dicoba untuk ditaburkan di atas awan. Tentu saja menaburnya dari atas kapal terbang.   Vincent Joseph Schaever mengadakan penelitian tidak pakai kapal terbang dan tidak berurusan dengan awan di alam bebas, karena biayanya mahal. Ia membuat simulasi, yaitu membuat contoh dengan meniru keadaan yang sebenarnya. Schaever mengambil ruang dalam lemari es sebagai simulasi angkasa di atas sana yang dingin. Sebagai simulasi awan ia mempergunakan hembusan napasnya ke dalam lemari es.  Sudah banyak zat yang dicobanya, sampai-sampai kepada mentega. Tidak ada yang berhasil. Rupanya semua usahanya seperti sia-sia.    
Lalu pada suatu hari sedang asyik-asyiknya Schaever meneliti didepan lemari es simulasinya itu, seorang kawan datang mengajaknya makan siang. "Tinggalkan dulu pekerjaanmu yang melelahkan itu, lebih baik kita pergi mengisi perut." Schaever menurut, dan sebelum pergi ia meninggalkan lemari esnya dalam keadaan terbuka, karena suhu cuaca sedang menurun. Dengan demikian suhu dalam ruang simulasi turut turun suhunya. Setelah kembali ke laboratoriumnya sehabis makan, dengan kecewa ia mendapati suhu udara bebas sedang naik. Suhu ruang simulasinya juga ikut naik tentunya, sehingga penelitian tidak dapat dengan segera dimulainya. Harus menunggu dahulu mesin refrigerator bekerja menurunkan suhu ruangan simulasi. Schaever berpikir cepat, teringat bahwa di lemari es yang lain tersimpan es kering.    
Ingat jangan dikacaukan dengan es krim. Es kering adalah CO2 yang padat, jauh lebih dingin dari es biasa. CO2 ini zat istimewa, tidak pernah dalam phase cair, dari padat langsung jadi phase gas. Itulah sebabnya disebut dry ice, es kering, karena tak pernah basah. Schaever memasukkan es kering ke dalamnya. Dengan demikian ia dapat menghemat waktu. Secara kebetulan bersamaan dengan masuknya es kering itu ia mengeluarkan napas. Ia segera membelalak. Segala jerih payahnya selama ini terbayar. Ia menyaksikan terjadinya hujan di dalam ruangan simulasi itu. Tentu saja penemuan yang tak disangka-sangka ini belum final, karena baru pada simulasi.  Harus dicoba di alam bebas. Awan ditabur dengan es kering dari atas kapal terbang. Dan ternyata memang turun hujan betul-betul. Tentu dicoba beberapa kali mengubah awan menjadi hujan dengan jalan menaburnya. Dan inilah yang disebut dengan seeding the clouds, menabur awan. Schaever berhasil dalam penelitiannya tetapi tidak dengan sengaja. Inilah yang disebut dengan serendipity, discovery by accident, penemuan yang tak disangka- sangka. Istilah itu diciptakan oleh Horace Walpole, seorang penulis terkenal, dalam tahun 1754. Konon diambil dari nama kota dalam dongeng Sindbad the Sailor. Pelaut itu menemukan kota Serendib by accident. Saya usulkan untuk menobatkan istilah ini menjadi bahasa Indonesia, serendipitas. Sebab belum ada bahasa Indonesianya. Dalam kamus hanya dijelaskan serendipity, penemuan tak disangka- sangka.    
Rupanya teori inti dari Aitken ini akan gugur. Hasil serendipitas Schaever menunjukkan tidak perlu ada inti. Cukup dengan es kering. Namun Bernard Vonnegut tanpa disengaja (again by accident) suatu hari ia melihat titik air di udara bertuliskan Pepsi Cola. Sebuah pesawat terbang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu di udara. Vonnegut melihat bahwa terbentuk gerimis hujan dari asap yang membuat tulisan nama minuman itu. Dari peristiwa itu Vonnegut berkesimpulan teori inti Aitken tidak gugur. Vonnegut lalu mendalami teori kristal es bersisi enam dari seorang pakar bernama Findeisen. Vonnegut berkesimpulan bahwa inti itu di samping halus harus memenuhi bentuk sisi enam. Akhirnya ia mendapatkan zat kimia yang memenuhi persyaratan itu, iodida perak. Zat ini dicoba Vonnegut untuk menabur awan, dan hujan turun.    
Sampai sekarang ini kedua cara itu dipakai untuk menabur awan, dengan es kering  dan dengan iodida perak. Tentu saja penelitian dilanjutkan terus untuk mendapatkan zat penabur awan yang lebih murah harganya. Penemuan itu oleh keduanya didapatkan tidak dengan sengaja. Schaever tidak sengaja dalam menabur es kering, dan Vonnegut tidak sengaja melihat Pepsi Cola untuk tetap bertahan pada teori inti dan mendapatkan iodida perak untuk menabur. Jadi kesimpulan sementara dari hasil serendipiti Shaever dan Vonnegut itu seperti berikut ini. Kalau suhunya cukup rendah, pembentukan kristal es tidak perlu pakai inti. Kalau tidak cukup rendah harus pakai inti. Berfirman Allah dalam S.Al Baqarah 212 dan S.An Nur 38: Wa Llahu yarzuqu man yasyaau bi ghayri hisab, artinya:  Allah memberi rezeki kepada siapa yang mau (untuk mendapatkan rezeki), dengan tidak disangka-sangka. Schaever dan Vonnegut telah mendapatkan rezeki yang tak disangka-sangka. Allah berkehendak memberikan rezeki kepada keduanya, karena keduanya berkeinginan dan berikhtiar bersungguh-sungguh mendapatkan rezeki yang dalam hal ini rezeki itu berwujud ilmu pengetahuan. Mungkinkah ayat tersebut berlaku untuk Schaever dan Vonnegut? Keduanya bukan orang Islam! Allah adalah Ar Rahman, Maha Pengasih. Allah dengan sifat RahmanNya itu tidak membeda-bedakan hamba sahayaNya di dunia ini, apakah ia Islam, atau bukan, bahkan yang ingkar kepadaNya sekalipun. Siapa saja yang mencari rezeki termsuk ilmu dengan bersungguh-sungguh, Allah akan memberikan. Karena Allah adalah Sumber dari segala-galanya, antara lain Sumber rezeki dan Sumber ilmu. WaLlahu a'lamu bishshawab  

Prasangka

Prasangka    

Ada sebuah cerita yang kelihatannya ringan. Sebuah keluarga yang terdiri atas:  ayah, ibu, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, sudah gadis. Dari segi komposisi adalah merupakan keluarga ideal menurut program KB. Namun perlu dicatat, cerita ini sudah lama ada sebelum Indonesia merdeka. Saya mendengar cerita ini dari nenek semasa saya masih kecil. Diceritakan nenek menjelang tidur malam. Keempat anggota keluarga itu semuanya pekak. Artinya tuli betul, sebenar- benarnya tuli. Suatu hari si anak laki-laki sedang menggembalakan kambingnya di pinggir kampung.  Seorang asing liwat. Menanyakan arah jalan yang bercabang dua. Si anak menjawab: "Ini kambing saya, ini kambing bapak saya. Mengapa engkau mengatakan kambing ini milikmu. Awas, tunggu di sini, saya beritahu ibuku di rumah. "Anak itu menghalau kambingnya pulang ke rumah. Masih di tangga si anak berteriak: "Ibu, di pinggir kampung, di luar sana ada orang yang mengaku-ngaku kambing kita ini kambingnya." Dengan suara pasrah si ibu menjawab: "Biarlah nak, kita ini memang orang miskin. Tidak usah marah. Biarkanlah dia mencela celana bapakmu yang penuh dengan tambalan itu." Sepulangnya suaminya dari kebun, belum sempat melangkahkan kaki suaminya masuk rumah, si isteri berucap: "Pak, menurut anak kita ada yang mencela celanamu yang penuh tambalan. Saya katakan, sudahlah nak, tidak usah masukkan di hati, kita ini memang petani miskin." Si suami menjawab: "Haram, kalau saya makan pisang di kebun. Kalau ada yang menyampaikan kepadamu saya ini suka makan pisang secara sembunyi-sembunyi di kebun, itu fitnah." Si gadis di dapur melirik ke depan pintu tempat kedua orang tuanya berdialog. Dia tentu saja hanya mampu melirik, karena tidak sanggup menguping, maklumlah ia pekak. Setelah dialog berakhir, si gadis melompat ke dekat pintu dengan tersedu-sedu ia berkata: "Biarlah mak, biarlah pak, kalau ada yang meminang, jangan ditolak, terima saja."    
***    
Dalam kehidupan kita sehari- sehari tidak jarang kita terlibat dalam hal prasangka. Sikap berprasangka yang dibentuk oleh kepicikan, pandangan sempit, curiga kepada bayangan sendiri. Cerita di atas itu dikarang  oleh nenek moyang kita untuk memberikan potret sekelompok manusia yang bersikap prasangka yang ekstrem. Memang nenek moyang kita, pengarang cerita itu, orang jenius. Keadaan pekak menggambarkan orang yang tidak mau mendengar pendapat orang lain. Yang penting adalah persepsinya sendiri, sangat sukar berkomunikasi dengannya. Sikap prasangka yang ekstrem, yang dibentuk  oleh kondisi kejiwaannya.    
Si anak laki-laki mendapat tugas menggembalakan kambingnya. Tanggung jawabnya itu menyebabkan ia bersikap waspada secara berlebihan. Apapun yang diucapkan atau dilakukan orang ditanggapinya mau meronrong kedudukannya sebagai gembala, mau mengambil, mau merampas kambing itu dari tangannya. Si ibu yang pekerjaan rutinnya menambal celana suaminya mnyebabkan ia dihinggapi penyakit rendah diri, minderwaadigheid complex. Semua tindak-tanduk orang selalu ditafsirkannya mengejek celana suaminya. Si suami yang suka makan pisang secara sembunyi-sembunyi, selalu ibarat mempunyai monyet di punggung.  Rasa kuatir  bahwa isterinya akhir-akhirnya akan tahu juga, selalu mengusik jiwanya. Waktu isterinya melapor bahwa celananya dicela orang, ia menyangka rahasianya sudah terbuka. Yang bungkuk dimakan sarung. Si gadis, adalah gadis pingitan, yang jiwanya selalu meratap, mendambakan orang datang meminang. Seperti diungkapkan oleh Kelong Mangkasara' (pantun Makassar):    
Bosi minne baraqminne, bungaminne campagayya. Inakatte minne, lamaqlonjoq paqrisiqna. Turunlah hujan, musim barat tiba, pohon cempaka berbunga pula. Nasibku memang, selalu dirundung malang.    
Si gadis menanti harap-harap cemas dari tahun ke tahun. Yang ditandai dengan datangnya musim barat, bahkan pohon cempaka sudah berbunga pula. Tetapi selalu dirundung malang, belum ada yang datang meminang. Maka oleh pembicaraan ibu dengan bapaknya dekat pintu, begitu serius dilihatnya, timbullah prasangkanya: telah ada yang datang meminang.    
Sikap prasangka ini tidak terkecuali, juga subur bertumbuh dalam politik tingkat tinggi. Rezim militer Aljazair, ibarat anak pekak yang menggembala kambing itu. Selalu diusik oleh kekuatiran kambingnya diambil orang, lalu berprasangka. Golongan Islam yang membentuk kekuatan politik, yang menempuh cara demokratis, menjadi salah satu kontestan dalam pemilihan umum, dicap fundamentalis. Sebenarnya istilah fundamentalis ini pengertiannya baik-baik saja.  Tetapi dalam lapangan politik internasional istilah ini sudah mempunyai konotasi yang khas, suka menempuh cara kekerasan. Kalaupun pada akhirnya kelompok ini terlibat dalam kekerasan dan pertumpahan darah, itu karena lebih dahulu dikerasi dan dizalimi oleh rezim militer: pemilu lanjutan dibatalkan, partainya disudutkan untuk mendapatkan alasan pembubaran dan akhirnya memang dibubarkan oleh rezim militer. Nah kalau mereka akhirnya terpaksa terlibat dalam tindak kekerasan dan pertumpahan darah, semutpun kalau diinjak, niscaya menggigit.    
Amerika Serikat yang begitu menggemborkan dirinya pahlawan demokrasi, bungkam, bahkan bersikap menyokong rezim militer Aljazair, yang mentorpedo hasil dan proses pemilihan umum itu. Mengapa? Amerika sedang risau, Iran potensial bakal menggantikan kedudukan mantan Uni Sovyet untuk menantang, menjadi rival Amerika. Ambisi Amerika untuk menjadi negara adidaya tunggal, menjadi polisi dunia, bakal mendapat hambatan, gangguan, bahkan ancaman dari Iran. Ini membentuk sikap Amerika berprasangka kepada setiap gerakan Islam, tidak terkecuali di Aljazair.    
Nah, itulah semua sikap prasangka politik tingkat tinggi yang mengglobal. Tidak ada bedanya dengan anak pekak yang selalu diusik oleh kekuatiran kambingnya diambil orang, seperti cerita nenek menjelang tidur di atas itu. Adapun tentang hal sikap berprasangka yang disebabkan oleh rasa rendah diri si ibu, oleh rasa ada monyet di punggung si ayah dan oleh rasa cemas si gadis, pembaca dapat memperkembang sendiri, sebab ruangan ini terbatas untuk itu.    
Marilah kita tutup pembahasan ini dengan Firman Allah dalam Al Quran, S.Banie Israil, ayat 36: Wa laa taqfu ma laysa laka bihi- 'ilmun, inna ssam'a walbashara, walfuada, kullu ulaaika kaana 'anhu mas.uwlan, artinya: Dan janganlah engkau memperturutkan (prasangka) yang engkau tidak tahu seluk- beluknya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan rasio, kesemuaya itu akan dipermasalahkan (oleh Allah SWT di Hari Pengadilan). Ya-ayyuha lladziyna a- manu jtanibuw katsiyran mina zhzhanni inna ba'dha zhzhanni itsmun (s. alhujuraat, 12), artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa (49:12).  WaLlahu a'lamu bishshawab.