Tuesday, July 31, 2012

KENAPA HARUS BERDZIKIR?

KENAPA HARUS BERDZIKIR?
Artikel ini menjelaskan beberapa alasan kenapa kita harus berdzikir kepada Allah. Terlebih lagi bahwa dzikir itu merupakan amalan yang mudah dilakukan. Kemudian pada bagian terakhir, dijelaskan bahwa berdzikir itu harus mengikuti aturan yang digariskan oleh Islam. Tidak boleh membuat - buat aturan yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Berikut beberapa manfaat bisa kita dapatkan dari berdzikir :

1.Membuat hati menjadi tenang.
Allah berfirman,
”Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar Ra’d : 28)

Banyak orang yang ketika mendapat kesulitan maka mereka mencari cara–cara yang salah untuk dapat mencapai ketenangan hidup. Diantaranya dengan mendengarkan musik yang diharamkan Allah, meminum khamr atau bir atau obat terlarang lainnya. Mereka berharap agar bisa mendapatkan ketenangan. Yang mereka dapatkan bukanlah ketenangan yang hakiki, tetapi ketenangan yang semu. Karena cara–cara yang mereka tempuh dilarang oleh Allah dan Rasul–Nya.

Ingatlah firman Allah Jalla wa ’Ala di atas, sehingga bila kita mendapat musibah atau kesulitan yang membuat hati menjadi gundah, maka ingatlah Allah, insya Allah hati menjadi tenang.


2.Mendapatkan pengampunan dan pahala yang besar.

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab : 35)

3.Dengan mengingat Allah, maka Allah akan ingat kepada kita.
Allah berfirman,
“Karena itu, ingatlah kamu kepada Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (dengan memberikan rahmat dan pengampunan)”. (Al Baqarah : 152)

4.Dzikir itu diperintahkan oleh Allah agar kita berdzikir sebanyak–banyaknya.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla
“Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak–banyaknya. Dan bertasbihlah kepada – Nya di waktu pagi dan petang.” (Al Ahzab : 41 – 42)

5.Banyak menyebut nama Allah akan menjadikan kita beruntung.

“Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (Al Anfal : 45)

Pada Al Qur’an dan terjemahan cetakan Al Haramain terdapat footnote bahwa menyebut nama Allah sebanyak – banyaknya, maksudnya adalah memperbanyak dzikir dan doa.

6.Dzikir kepada Allah merupakan pembeda antara orang mukmin dan munafik, karena sifat orang munafik adalah tidak mau berdzikir kepada Allah kecuali hanya sedikit saja. (Khalid Al Husainan, Aktsaru min Alfi Sunnatin fil Yaum wal Lailah, Daar Balansiyah lin Nasyr wat Tauzi’, Riyadh, Terj. Zaki Rahmawan, Lebih dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Pustaka Imam Asy Syafi’i, Bogor, Cetakan I, Juni 2004 M, hal. 158).

Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang – orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An Nisaa’ : 142)

7.Dzikir merupakan amal ibadah yang paling mudah dilakukan.
Banyak amal ibadah yang sebetulnya mudah untuk kita lakukan. Semisal :
- Membaca basmillah ketika akan makan / minum
- Membaca doa keluar / masuk kamar mandi
- Membaca dzikir – dzikir sewaktu pagi dan petang
- Membaca doa keluar / masuk rumah
- Membaca doa ketika turun hujan
- Membaca dzikir setelah hujan turun
- Membaca doa ketika berjalan menuju masjid
- Membaca dzikir ketika masuk / keluar masjid
- Membaca hamdalah ketika bersin
- Membaca dzikir – dzikir ketika akan tidur
- Membaca doa ketika bangun tidur

Dan lain–lain banyak sekali amalan yang mudah kita lakukan. Bila kita tinggalkan, maka rugilah kita berapa banyak ganjaran yang harusnya kita dapat, tetapi tidak kita peroleh padahal itu mudah untuk diraih. Coba saja hitung berapa banyak kita keluar masuk kamar mandi dalam sehari?

DZIKIR HARUS SESUAI DENGAN ATURAN ISLAM

Dzikir adalah perkara ibadah, maka dari itu dzikir harus mengikuti aturan Islam. Ada dzikir – dzikir yang sifatnya mutlak, jadi boleh dibaca kapan saja, dimana saja, dan dalam jumlah berapa saja karena memang tidak perlu dihitung.

Tetapi ada juga dzikir – dzikir yang terkait dengan tempat, misal bacaan – bacaan dzikir ketika mengelilingi (thawaf) di Ka’bah. Ada juga dzikir yang terkait dengan waktu, misal bacaan dzikir turun hujan. Juga ada dzikir yang terkait dengan bilangan, misal membaca tasbih, tahmid, dan takbir dengan jumlah tertentu (33 kali) setelah shalat wajib. Tentu tidak boleh ditambah – tambah kecuali ada dalil yang menerangkannya.

Kalau seseorang membuat sendiri aturan – aturan dzikir yang tidak diterangkan oleh Islam, maka berarti dia telah membuat jalan yang baru yang tertolak. Karena sesungguhnya jalan – jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah itu telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Patutkah kita menempuh jalan baru selain jalan yang telah diterangkan oleh Rasul Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Tentu tidak, karena Agama Islam ini telah sempurna. Kita harus mencukupkan dengan jalan yang telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.


Referensi :
1.Al Qur’an
2.Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Dzikir Pagi dan Petang dan Sesudah Shalat Fardhu, Pustaka Imam Asy Syafi’i, Cetakan I, Desember 2004
3.Khalid Al Husainan, Aktsaru min Alfi Sunnatin fil Yaum wal Lailah, Daar Balansiyah lin Nasyr wat Tauzi’, Riyadh, Terj. Zaki Rahmawan, Lebih dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Pustaka Imam Asy Syafi’i, Bogor, Cetakan I, Juni 2004 M


FENOMENA TAHZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUS SUNNAH DAN SOLUSINYA

FENOMENA TAHZIR, CELA-MENCELA SESAMA AHLUS SUNNAH DAN SOLUSINYA
 
Pada masa sekarang ini, ada sebagian ahlus sunnah yang sibuk menyerang ahlus sunnah lainnya dengan berbagai celaan dan tahdzir. Hal tersebut tentu mengakibatkan perpecahan, perselisihan dan sikap saling tidak akur.
Padahal mereka saling cinta mencintai dan saling berkasih sayang, serta bersatu padu dalam barisan yang kokoh untuk menghadapi para ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi ahlus sunnah.

Adanya Fenomena Diatas Disebabkan Dua Hal:

Pertama.
Ada sebagian ahlus sunnah pada masa sekarang ini yang menyibukkan diri mencari-cari kesalahan ahlus sunnah lainnya dan mendiskusikan kesalahan tersebut, baik yang terdapat di dalam tulisan maupun kaset-kaset. Kemudian dengan bekal kesalahan-kesalahan tersebut mereka melakukan tahdzir terhadap ahlus sunnah yang menurut mereka melakukan kesalahan.

Salah satu sebab mereka melakukan tahdzir adalah karena ada Ahlus sunnah lain yang bekerja sama dengan salah satu yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan untuk mengadakan ceramah-ceramah atau seminar-seminar keagamaan. Padahal Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah memberikan ceramah kepada pengurus yayasan keagamaan tersebut melalui telepon. Dan kerjasama Ahlus sunnah lain dengan yayasan tersebut sebenarnya sudah dinyatakan boleh oleh dua ulama besar itu dengan fatwa.

Oleh karena itu, hendaknya mereka introspeksi terhadap diri mereka terlebih dahulu sebelum menyalahkan dan mencela pendapat orang lain; apalagi tindakan ahlus sunnah lain tadi bersumber dari fatwa ulama besar. Anjuran introspeksi diri seperti ini pernah disampaikan oleh sebagian Sahabat Rasulullah setelah dilangsungkannya perjanjian Hudaibiyah. Sebagian sahabat ada yang berkata, “Wahai Manusia, hendaklah kalian mau introspeksi diri agar tidak menggunakan akal kalian dalam masalah agama.”

Amat disayangkan, padahal mereka yang dicela itu telah banyak membantu masyarakat, baik melalui pelajaran-pelajaran yang disampaikan, karya-karya tulis, maupun khutbah-khutbahnya. Mereka ditahdzir hanya dikarenakan tidak membicarakan tentang si Fulan atau jamaah tertentu. Sayang sekali memang, fenomena cela-mencela dan tahdzir ini telah merembet ke negeri Arab. Ada di antara mereka yang terkena musibah ini yang memiliki keilmuan yang luas dan memiliki usaha yang keras dalam menampakkan, menyebarkan dan menyeru kepada Sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir terhadap mereka telah menghalangi jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang hendak mengambil manfaat dari mereka, baik dari sisi ilmu maupun akhlak.

Kedua.
Ada sebagian Ahlus sunnah yang apabila melihat kesalahan Ahlus sunnah lain, maka mereka menulis bantahannya, lalu pihak yang dibantah membalas bantahan tersebut dengan bantahan yang serupa. Pada akhirnya kedua belah pihak sibuk membaca tulisan-tulisan pihak lawan atau mendengarkan kaset-kaset, yang lama maupun yang baru, dalam rangka mencari kesalahan dan kejelekkan lawannya, padahal boleh jadi kesalahan-kesalahan tadi hanya disebabkan karena terpeleset lidah. Semua itu mereka kerjakan secara perorangan atau secara berkelompok. Kemudian tiap-tiap pihak berusaha untuk memperbanyak pendukung yang membelanya dan merendahkan pihak lawannya. Kemudian para pendukung di tiap pihak berusaha keras membela pendapat pihak yang didukungnya dan mencela pendapat pihak lawannya. Merekapun memaksa setiap orang yang mereka temui untuk mempunyai sikap yang jelas terhadap orang-orang yang berada di pihak lawan.

Apabila orang tersebut tidak mau menunjukkan sikapnya secara jelas, maka dia pun dianggap masuk sebagai kelompok ahli bid’ah seperti kelompok lawannya. Sikap tersebut biasanya diikuti dengan sikap tidak akur satu pihak dengan pihak lainnya. Tindakan kedua belah pihak serupa dengan itu merupakan pangkal muncul dan tersebarnya konflik pada skala yang lebih luas. Dan keadaan bertambah parah, karena pendukung masing-masing kelompok menyebarkan celaan-celaan tersebut di jaringan internet, sehingga para pemuda ahlus sunnah di berbagai negeri, bahkan lintas benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan di website masing-masing pihak. Berita yang disebarkan oleh masing-masing pihak hanyalah berita-berita qila wa qala saja, tidak jelas sumbernya, dan tidak mendatangkan kebaikan sedikit pun, bahkan hanya akan membawa kerusakan dan perpecahan. Sikap yang dilakukan para pendukung masing-masing pihak seperti orang yang bolak-balik di papan pengumuman untuk mengetahui berita terbaru yang ditempel. Mereka juga tidak ubahnya seperti supporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Permusuhan, kekacauan dan perselisihan sesama mereka merupakan akibat dari dihasilkan sikap-sikap seperti itu.

Solusi Permasalahan Ini

Ada Beberapa Solusi Yang Bisa Diketengahkan Dalam Permaslahan Ini.

Pertama.
Berkaitan dengan cela-mencela dan tahdzir perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

[1] Orang-orang yang sibuk mencela ulama dan para penuntut ilmu hendaknya takut kepada Allah subhanahu wa Ta’ala dengan tindakkannya tersebut. Mereka hendaknya lebih menyibukkan diri memperhatikan kejelekkan dirinya sendiri agar bisa terbebas dari kejelekan orang lain. Mereka hendaknya berusaha menjaga kekalnya kebaikan yang dia miliki. Janganlah mereka mengurangi amal kebaikan mereka walaupun sedikit, yaitu dengan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia cela. Hal itu karena mereka lebih membutuhkan kebaikan tersebut dibanding yang lain pada hari dimana harta dan anak-anak takkan berguna kecuali orang yang datang kepada Allah Ta’ala dengan hati yang selamat. [Maksudnya pada hari kiamat, -pen]

[2] Hendaknya mereka berhenti melakukan cela-mencela dan tahdzir, lalu menyibukkan diri memperdalam ilmu yang bermanfaat; bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu agar bisa manfaat dari ilmu tersebut dan menyampaikannya kepada orang lain yang membutuhkannya. Hendaknya mereka menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan, baik dengan belajar-mengajar, berdakwah atau menulis. Semua itu jelas lebih membawa kebaikan. Jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang baik seperti itu, tentu mereka dikatakan sebagai orang-orang yang membangun. Jadi, janganlah mereka sibuk mencela sesama ahlus sunnah, baik yang ulama maupun penuntut ilmu, karena hal itu akan menutup jalan bagi orang-orang yang mendapatkan manfaat keilmuan dari mereka. Perbuatan-perbuatan seperti itu adalah temasuk perbuatan-perbuatan yang merusak. Orang-orang yang sibuk dengan tindakan cela-mencela seperti itu, setelah mereka meninggal tidak meninggalkan bekas ilmu yang bermanfaat, dan manusia tidak merasa kehilangan para ulama yang ilmunya bermanfaat bagi mereka, bahkan sebaliknya, dengan kematian mereka manusia merasa selamat dari keburukan.

[3] Para penuntut ilmu dari kalangan ahlus sunnah hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan keilmuan seperti membaca buku-buku yang bermanfaat, mendengarkan kaset-kaset ceramah para ulama ahlus sunnah seperti Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsiamin, daripada sibuk menelepon fulan atau si Fulan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang Fulan atau Fulan?” atau “Bagaimana komentarmu tentang pernyataan Fulan terhadap si Fulan dan tanggapan si Fulan terhadap si Fulan?”

[4] Berkaitan dengan pertanyaan tentang orang-orang yang sibuk dalam bidang keilmuan, mereka boleh dimintai fatwa atau tidak, selayaknya hal tersebut ditanyakan kepada pimpinan Lembaga Fatwa di Riyadh. Dan siapa yang mengetahui keadaan mereka, hendaknya mau melayangkan surat kepada pimpinan Lembaga Fatwa yang berisi penjelasan tentang keadaan mereka untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar sumber penilaian cacat seseorang dan tahdzir, apabila memang harus dikeluarkan, maka yang mengeluarkan adalah lembaga yang berkompeten dalam masalah fatwa dan berwenang menjelaskan tentang siapa-siapa yang dapat diambil ilmunya dan dimintai fatwa. Tidak diragukan lagi bahwa lembaga yang dijadikan sebagai rujukan fatwa dalam berbagai permasalahan, juga selayaknya dijadikan sebagai sumber rujukan untuk mengetahui siapa yang boleh dimintai fatwa dan diambil ilmunya. Hendaknya janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai tempat rujukan dalam perkara yang sangat penting ini, karena sesungguhnya termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya.
Kedua.
Berkaitan dengan cara membantah orang yang melakukan kekeliruan pendapat perlu diperhatikan beberapa perkara sebagai berikut:

[1] Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan penuh keramahan dan kelemah-lembutan disertai keinginan yang kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya, apabila kesalahannya jelas terlihat. Selayaknya seseorang yang hendak membantah pendapat orang lain merujuk bagaimana cara Syaikh bin Baz tatkala melakukan bantahan, untuk kemudian diterapkannya.

[2] Apabila kesalahan orang yang dibantah tadi masih samar, mungkin benar atau mungkin juga salah, maka selayaknya masalah tersebut dikembalikan kepada pimpinan Lembaga Fatwa untuk diberi keputusan hukumnya. Adapun apabila kesalahannya jelas, maka wajib bagi orang yang dibantah tersebut untuk meninggalkannya. Kerena kembali kepada kebenaran adalah lebih baik dari pada tetap tenggelam dalam kebatilan.

[3] Apabila seseorang telah membantah orang lain, maka berarti dia telah menunaikan kewajiban dirinya, maka hendaknya dia tidak menyibukkan diri mengikuti gerak-gerik orang yang dibantah. Sebaliknya, dia selayaknya menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun orang lain. Begitulah sikap yang dicontohkan oleh Syaikh bin Baz.

[4] Seorang penuntut ilmu tidak diperbolehkan mengajak orang lain serta memaksanya untuk memilih si Fulan (yang dibantah) atau ikut dia (yang membantah); apabila sepakat dengannya maka dia selamat; namun apabila tidak sepakat maka di bid’ahkan dan diboikotnya.

Tidak boleh seorang pun menisbatkan fenomena tabdi’ (pembid’ahan) dan hajr (pemboikotan) yang kacau seperti ini sebagai manhaj Ahlus sunnah. Dan siapapun tidak diperbolehkan menggelari orang yang tidak menempuh jalan yang ngawur ini sebagai orang yang tidak bermanhaj salaf. Boikot (hajr) yang dilakukan dalam manhaj Ahlus sunnah adalah boikot yang memberikan manfaat bagi orang yang diboikot, seperti boikot seorang bapak pada anaknya, Syaikh kepada muridnya, dan boikot dari pihak yang memiliki kedudukan dan derajat yang lebih tinggi kepada orang-orang yang menjadi bawahannya. Boikot-boikot seperti itu akan memberikan manfaat bagi orang yang diboikot. Namun apabila boikot itu bersumber dari seorang penuntut ilmu kepada penuntut ilmu yang lain, lebih-lebih pada perkara yang tidak selayaknya seseorang diboikot, maka boikot seperti itu tidak manfaat sedikit pun bagi orang yang diboikot, tetapi malah akan menimbulkan permusuhan, saling membelakangi dan saling menghalangi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Majmu’ Fatawa (III/ 413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah. Beliau berkata, “Pendapat yang benar adalah pendapat yang dikemukakan oleh para imam, yaitu bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak perlu dicintai secara khusus, namun juga tidak boleh dilaknat. Meskipun dia seorang yang fasiq atau zalim, mudah-mudahan Allah mengampuni orang yang fasiq dan zalim, terlebih lagi dia telah melakukan kebaikan yang besar.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah bersabda.

“Pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin akan diampuni dosa-dosanya.”

Dan pasukan pertama yang memerangi tentara Konstatin dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah, dan Abu Ayyub Al-Anshari ikut dalam pasukan tersebut. Oleh karena itu, selayaknya kita bersikap adil dalam permasalahan tersebut. Kita tidak boleh mencela Yazid bin Mu’awiyah dan memata-matai seseorang dalam bersikap terhadapnya, karena sikap seperti itu adalah bid’ah yang bertentangan dengan manhaj Ahlus sunnah Wal Jama’ah.

Dalam kitab yang sama (III/ 415), beliau juga berkata, “Sikap seperti itu juga akan memecah belah umat Islam. Disamping itu, sikap itu tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (XX/ 164), “Tidak boleh seorang pun menjadikan orang lain sebagai figur yang harus diikuti dan sebagai standar dalam berteman atau bermusuhan selain Rasulullah. Tidak diperkenankan pula seseorang menjadikan sebuah perkataan pun sebagai barometer untuk berteman dan bermusuhan selain perkataan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ kaum muslimin. Cara-cara seperti ini adalah termasuk perbuatan ahli bid’ah. Para ahli bid’ah biasa menjadikan figur atau sebuah perkataan sebagai tolak ukur. Mereka berteman ataupun bermusuhan dengan dasar perkataan atau figur tersebut. Akhirnya hanya memecah-belah umat Islam.

Para pendidik tidak boleh mengkotak-kotakkan umat Islam, dan melakukan perbuatan yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan yang seharusnya dilakukan adalah saling menolong atas dasar kebaikan dan takwa, sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala.
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. Al-Maidah: 2]

Al-Hafizh Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist: Beliau berkata, “Termasuk tanda bagusnya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna baginya.”

Dalam kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al ‘Hikam (I/ 288), beliau berkata, “Hadist ini merupakan landasan penting dalam masalah adab. Imam Abu Amru bin Ash Shalah menceritakan bahwa Abu Muhammad bin abu Zaid, salah seorang imam Madzhab Malik pada zamannya, pernah berkata: “Adanya berbagai macam adab kebaikan bercabang dari empat hadist, yaitu hadist Rasulullah:

“Siapa yang beriman dengan Allah Ta’ala dan hari akhirat hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau (kalau tidak bisa) lebih baik diam.”
Lalu hadits:

“Salah satu ciri baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.”

Lalu hadist Rasulullah yang mengandung wasiatnya yang singkat:

“Jangan marah,”

Kemudian yang terakhir hadist:

“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”

Saya Berkata :
Betapa perlunya para penuntut ilmu dengan adab-adab diatas, karena adab-adab tersebut jelas akan mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. Para penuntut ilmu juga perlu menjauhi sikap dan kata-kata yang kasar yang hanya akan membuahkan permusuhan, perpecahan, saling membenci dan mencerai-beraikan persatuan.

Menjadi kewajiban bagi setiap penuntut ilmu untuk menasehati dirinya sendiri agar berhenti mengikuti tulisan-tulisan di internet yang memuat komentar kedua belah pihak dalam masalah ini. Hendaknya mereka memanfaatkan dan memperhatikan website yang lebih bermanfaat seperti website milik Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang berisi telaah pembahasan-pembahasan ilmiah keagamaan dan fatwa-fatwa beliau yang sampai sekarang telah mencapai dua puluh satu jilid. Website lain yang lebih bermanfaat untuk mereka lihat adalah website Fatwa Lajnah Daimah yang sampai kini telah mencapai dua puluh jilid; begitu pula website Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang berisi tela'ah kitab-kitab dan fatwa-fatwanya yang banyak dan luas.

BERKASIH SAYANG DAN LEMAH LEMBUT

BERKASIH SAYANG DAN LEMAH LEMBUT

Allah menjelaskan bahwa Nabi-Nya, Muhammad, sebagai orang yang memiliki akhlak yang agung. Allah Ta’ala berfirman.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Artinya : Sungguh, kamu mempunyai akhlak yang agung” [Al-Qalam : 4]

Allah juga menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang ramah dan lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman.
 فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“Artinya : Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu” [Ali Imran : 159]

Allah juga menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang penyayang dan memiliki rasa belas-kasih terhadap orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman.
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Artinya : Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yang berat memikirkan penderitaanmu, sangat menginginkan kamu (beriman dan selamat), amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” [At-Taubah : 128]

Rasulullah memerintahkan dan menganjurkan kita agar senantiasa berlaku lemah lembut. Beliau bersabda.

“Artinya : Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734 dari Anas bin Malik. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim no. 1732 dari Abu Musa dengan lafaz.

“Artinya : Berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari. Mudahkanlah dan janganlah kalian persulit”.

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no.220 meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah berkata kepada para sahabatnya pada kisah tentang seorang Arab Badui yang kencing di masjid.

“Artinya : Biarkanlah dia! Tuangkanlah saja setimba/ seember air. Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit”

Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah hadits no.6927 bahwa Rasulullah bersabda.

“Artinya : Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha lembut dan mencintai kelembutan di dalam semua urusan”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim no. 2593 dengan lafaz.

“Artinya : Wahai Aisyah, sesunguhnya Allah itu Maha lembut dan mencintai kelembutan. Allah memberi kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada kekerasan dan sifat-sifat lainnya”

Muslim meriwayatkan hadits dalam kitab Shahihnya no.2594 dari Aisyah, Nabi bersabda.

“Artinya : Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek”

Muslim juga meriwayatkan hadits no. 2592 dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi bersabda.

“Artinya : Siapa yang tidak memiliki sifat lembut, maka tidak akan mendapatkan kebaikan”.

Allah pernah memerintahkan dua orang nabiNya yang mulia yaitu Musa dan Harun untuk mendakwahi Fir’aun dengan lembut. Allah Ta’ala berfirman.
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى.  ٤٤. فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Artinya : Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia telah berbuat melampui batas. Berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia mau ingat atau takut” [Thaha : 43-44]

Allah juga menjelaskan bahwa para sahabat yang mulia senantiasa saling bekasih sayang. Allah Ta’ala berfirman.
 مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
“Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang selalu bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” [Al-Fath : 29]

HUKUM BERBURUK SANGKA DAN MENCARI-CARI KESALAHAN

HUKUM BERBURUK SANGKA DAN MENCARI-CARI KESALAHAN

 
Allah Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]

Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”

Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.

Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.

Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/ 285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata: “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.

Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selemat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” [Lihat Kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/ 121)]

Komentar saya : “Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal cerdas itu. Dan jawaban di atas salah satu contoh dari kecerdasan beliau”.

Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa letih. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Beliau juga berkata pad hal.133, “Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.

MENJAGA LISAN AGAR SELALU BERBICARA BAIK

MENJAGA LISAN AGAR SELALU BERBICARA BAIK

Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً.  ٧١. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً 
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Siapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]

Dalam ayat lain disebutkan.
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Allah juga berfirman.
 وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ.  ١٧. إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ.  ١٨. مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ  
“Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” [Qaf : 16-18]

Begitu juga firman Allah Ta’ala.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً
“Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]

Dalam kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan.

“Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”

Allah 'Azza wa Jalla berfirman.
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban” [Al-Israa : 36]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta” [1]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba. Zina kaki adalah melangkah. (Dalam hal ini), hati yang mempunyai keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau mengurungkannya” [2]

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz.

“Artinya : Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65 dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadits tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang. Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”.

Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :

Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadi

Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.


Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda.

“Artinya : Siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”

Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

“Artinya : Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”

Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6477 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2988 [3] dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”

Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi wasiat Nabi kepada Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2616 yang sekaligus dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda.

“Artinya : Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?”

Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu’adz.

“Artinya : Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?”

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak dia akan menuai apa yang dia tanam. Siapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan. Sebaliknya, siapa yang menanam Sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan”.

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), “Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur semua urusannya”.

Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “ Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana sering saya dapati baik amalan-amalannya”.

Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda.

“Artinya : Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah, yang akhirnya berbunyi.

“Artinya : Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan orang muslim lainnya”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits no. 1739 ; begitu juga Muslim [4] dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah berkhutbah pada hari nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu, “Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari yang haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan apakah ini ?” Mereka menjawab, “Bulan yang haram”. Selanjutnya beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi masing-masing kalian (merampasnya) sebagaimana haramnya ; hari, bulan dan negeri ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu) ?”

Ibnu Abbas mengomentari perkataan Nabi di atas, “Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk umatnya. Beliau berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal leher”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2674 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

“Artinya : Siapa yang menyeru kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”

Al-Hafidz Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65) mengomentari hadits.

“Artinya : Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali dari tiga perkara …dst”

Beliau berkata, “Orang yang membukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat akan mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari orang yang membaca, menulis dan mengamalkannya, berdasarkan hadits ini dan hadits yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau mengamalkannya, berdasarkan hadits.

“Artinya : Siapa yang merintis perbuatan yang baik atau buruk, maka ….”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6505 dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah berfirman, “siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi”

Foote Note.
[1] Diriwayatkan oleh Muslim hadits no. 1715. Hadits tentang tiga perkara yang dibenci ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Mughirah hadits no.2408 dan diriwayatkan juga oleh Muslim.
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6612 dan Muslim hadits no.2657. Lafaz di atas adalah yang terdapat dalam riwayat Muslim
[3] Tetapi lafaz hadits tersebut adalah yang terdapat dalam riwayat muslim
[4] Tetapi lafaz yang tersebut terdapat dalam riwayat Bukhari

NIKMAT MAMPU BERBICARA DAN MENJELASKAN

NIKMAT MAMPU BERBICARA DAN MENJELASKAN
Sesungguhnya kenikmatan yang Allah berikan kepada hamba-hambanya tak terhitung dan terhingga banyaknya. Dan termasuk salah satu nikmat agung yang diberikan oleh Allah kepada kita adalah nikmat mampu berbicara. Dengan kemapuan tersebut seseorang bisa mengutarakan keinginannya, mampu menyampaikan perkataan yang benar dan mampu beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Orang yang tidak diberi nikmat mampu berbicara, jelas dia tidak akan mampu melakukan hal di atas. Dia hanya bisa mengutarakan sesuatu dan memahamkan orang dengan isyarat atau dengan cara menulis, jika dia mampu menulis. Allah Ta’ala berfirman.
وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً رَّجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لاَ يَقْدِرُ عَلَىَ شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّههُّ لاَ يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَن يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Artinya : Dan Allah membuat (pula) perumpamaan dua orang lelaki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban bagi penanggungnya, kemana saja dia suruh oleh penanggungnya itu dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan yang berada di atas jalan yang lurus?” [An-Nahl : 76]

Tentang tafsir ayat ini, ada yang mengatakan bahwasanya Allah memberikan permisalan perbandingan antara diriNya dengan berhala yang disembah. Adapula yang mengatakan bahwa Allah memberi permisalan antara orang kafir dan orang yang beriman. Imam Qurthubi menjelaskan dalam kitab Tafsirnya (IV/149), “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa penjelasan-penjelasan tersebut semuanya baik, karena telah mencakup”.

Permisalan di atas secara jelas menerangkan kekurangan seorang budak bisu yang tidak mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Pemiliknya pun tidak mampu mengambil manfaat kapan dia membutuhkannya. Allah Ta’ala berfirman.
  فَوَرَبِّ السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِّثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنطِقُونَ
“Artinya : Demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan” [Adz-Dzariyat : 23]

Allah bersumpah dengan diriNya akan pastinya kedatangan hari kebangkitan dan pembalasan amal manusia, sebagaimana pastinya ucapan yang menjadi perwujudan dari orang yang berbicara. Pada ayat tersebut Allah memaparkan sebagian karuniaNya yang berupa ucapan,

Allah Ta’ala juga berfirman
  خَلَقَ الْإِنسَانَ.  ٤. عَلَّمَهُ الْبَيَانَ 
“Artinya : Dia menciptakan manusia, dan mengajarinya berbicara” [Ar-Rahman : 3-4]

Al-Hasan Al-Bashri menafsirkan bahwa al-bayan (penjelasan) adalah berbicara. Jadi, Allah menyebutkan nikmat berbicara ini, karena dengan berbicara manusia bisa mengutarakan apa yang diinginkannya.

Allah Ta’ala berfirman.
  أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ.  ٩. وَلِسَاناً وَشَفَتَيْنِ  
“Artinya : Bukannkah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir?” [Al-Balad : 8-9]

Dalam kitab Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan, “Firman Allah : (Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata), maksudnya dengan kedua mata tersebut dia mampu melihat. Dan lidah, yaitu dengan lidahnya dia mampu berbicara ; mampu mengungkapkan apa yang tersimpan dalam hatinya. Dan kedua bibirnya, yaitu dengan bibirnya dia dapat mengucapkan sebuah perkataan, atau memakan makanan ; juga sebagai penghias wajah dan mulutnya”.

Akan tetapi, kita tahu bahwa nikmat berbicara ini akan menjadi kenikmatan yang hakiki apabila digunakan untuk membicarakan hal-hal yang baik. Apabila digunakan untuk perkara yang jelek, maka hal itu justru akan menjadi musibah bagi pemiliknya. Dalam keadaan seperti itu, maka orang yang tidak diberi nikmat berbicara lebih baik keadaannya dibandingkan dengan orang yang menggunakan nikmat ini dalam perkara yang jelek.

Batasan Melihat Wanita Bukan Mahram

   “Yang diharamkan tidak hanya memandang auratnya, bahkan seluruhnya dilarang.” Demikian jawaban Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Beliau lanjutkan: “Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur`an:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُ فُرُوْجَهُمْ...

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman (kaum mukminin): “Hendaklah mereka menundukkan sebagian dari pandangan mereka dan hendaklah mereka menjaga kemaluan mereka….” (An-Nur: 30)
Sekalipun wanita itu terbuka wajahnya, tidaklah berarti boleh memandang wajahnya. Karena terdapat perintah untuk menundukkan pandangan. Laki-laki menundukkan pandangannya dari melihat wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita diperintahkan menundukkan pandangannya dari melihat laki-laki.

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ...

“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman (kaum mukminat): ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian dari pandangan mereka…’.” (An-Nur: 31)
Apabila seorang wanita berjalan di pasar, ia melihat laki-laki, melihat gelang yang dipakai laki-laki, melihat wajah mereka, tangan dan betis mereka, ini memang bukan aurat laki-laki. Namun bersamaan dengan itu, si wanita harus menundukkan pandangannya walaupun si lelaki tidak membuka auratnya. Karena hal ini merupakan penutup jalan menuju kerusakan (saddun lidz-dzari’ah). Tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum mukminin untuk menundukkan pandangan dari melihat wajah-wajah wanita yang mungkin terbuka, demikian pula ketika Dia memerintahkan para wanita untuk menundukkan pandangan mereka dari melihat laki-laki, bukanlah karena permasalahan yang berkaitan dengan hukum syar’i tentang aurat semata. Namun semuanya itu menegaskan ditutupnya jalannya menuju kerusakan. Karena dikhawatirkan bila si lelaki memandangi wajah seorang wanita lantas mengagumi kecantikannya, akan menyeret si lelaki kepada perbuatan nista. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا...

“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina2...”
Demikian pula wanita diperintahkan menundukkan pandangannya dari lelaki karena khawatir ia akan terfitnah dengan keelokan wajah si lelaki, besarnya ototnya, lurusnya lengannya dan bagian-bagian tubuh lain yang dapat membuat fitnah. Maka datanglah perintah yang melarang masing-masing jenis dari melihat lawan jenis (yang bukan mahramnya) dalam rangka menutup jalan menuju kerusakan. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.” (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 461-462)

1 HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
2 Haditsnya secara lengkap adalah:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, dia akan mendapatkannya, tidak bisa tidak. Maka zina mata adalah dengan memandang (yang haram), dan zina lisan adalah dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Dalam riwayat Muslim disebutkan:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظْرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلإِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانِ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluanlah yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.”

 

Hadirkan Hatimu, Saat Membaca Kitab Rabbmu

Hadirkan Hatimu, Saat Membaca Kitab Rabbmu

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu seorang shahabat yang mulia, berkisah: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadaku: ‘Bacakanlah Al-Qur`an untukku.’ Aku bertanya heran: ‘Wahai Rasulullah, apakah aku membacakan untukmu sementara Al-Qur`an itu diturunkan kepadamu?’ Beliau menjawab: ‘Iya, bacalah.’ Aku pun membaca surat An-Nisa` hingga sampai pada ayat:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلىَ هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا

“Maka bagaimanakah jika Kami mendatangkan seorang saksi bagi setiap umat dan Kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka itu.” (An-Nisa’: 41)
Beliau bersabda: ‘Cukuplah.’ Aku menengok ke arah beliau, ternyata aku dapati kedua mata beliau basah berlinang air mata.”1
Saudariku muslimah, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu! Demikianlah keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membaca Al-Qur`an dan mendengarkannya. Sementara beliau adalah orang yang paling tahu kandungan Al-Qur`an serta paling paham maknanya. Beliau juga adalah orang yang telah diampuni dosa-dosanya. Namun bersamaan dengan itu, beliau tetap tersentuh hatinya kala mendengarkan bacaan Al-Qur`an. Bahkan, beliau pernah shalat dalam keadaan dada beliau bergemuruh karena isak tangis saat membaca surat Al-Qur`an2.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memang telah menyebutkan kandungan Al-Qur`an berupa janji dan ancaman, kisah surga dan kenikmatannya berikut neraka dengan azabnya. Yang kesemua itu mestinya menggugah ambisi untuk menggapai surga-Nya dan menangis karena takut akan neraka beserta azabnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللهِ ذلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Qur`an yang serupa ayat-ayatnya lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu berzikir (mengingat) Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu, Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 23)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji suatu kaum dalam firman-Nya:

قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُوْلُوْنَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُوْلاً. وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Berimanlah kalian kepadanya atau tidak usah beriman. Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas wajah mereka sujud kepada Allah, seraya berkata: ‘Maha suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur di atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.” (Al-Isra`: 107-109)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah menganjurkan umatnya untuk khusyuk, menghinakan diri, dan menangis saat membaca Al-Qur`an karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau bersabda:

عَيْنَانِ لاَ تَمُسُّهُمَا النَّارُ: عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka: (pertama) mata yang menangis karena takut kepada Allah, (kedua) mata yang bermalam dalam keadaan berjaga di jalan Allah.”3
Bahkan beliau menerangkan, seseorang yang menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan masuk ke dalam surga-Nya:

لاَ يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللهِ حَتَّى يَعُوْدَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ ...

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah sampai susu (yang diperah) bisa kembali ke kantung susu (kambing) ….”4
Para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Al-Qur`an dengan menghadirkan hati, merenungi dan mengambil pelajaran dari ayat-ayatnya, hingga mengalirlah air mata mereka dan khusyuk hati mereka. Mereka mengangkat tangan mereka kepada Rabb mereka dengan menghinakan diri memohon kepada-Nya agar amal-amal mereka diterima dan berharap ampunan dari ketergelinciran mereka. Mereka merindukan kenikmatan nan abadi yang ada di sisi-Nya. Diriwayatkan bahwasanya Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika masih di Makkah, membangun tempat shalat di halaman rumahnya. Beliau shalat di tempat tersebut dan membaca Al-Qur`an, hingga membuat wanita-wanita musyrikin dan anak-anak mereka berkumpul di sekitarnya karena heran dan takjub melihat apa yang dilakukan Abu Bakr. Sementara Abu Bakr radhiyallahu 'anhu adalah sosok insan yang sering menangis, tidak dapat menahan air matanya saat membaca Al-Qur`an5.
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu pun punya kisah. Beliau shalat mengimami manusia dan menangis saat membaca Al-Qur`an dalam shalatnya, hingga bacaannya terhenti dan isaknya terdengar sampai shaf ketiga di belakangnya. Beliau membaca ayat:

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِيْنَ

“Celakalah orang-orang yang berbuat curang.”
Ketika sampai pada ayat:

يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ

“Pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb semesta alam.”
Beliau menangis hingga terhenti bacaannya.
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang yang menangis karena membaca/mendengar bacaan Al-Qur`an ketika mengabarkan tentang para nabi dan para wali-Nya:

إِنَّ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُولُوْنَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُوْلاً

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas wajah mereka sujud kepada Allah, seraya berkata: ‘Maha suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi’.” (Al-Isra`: 107-108)

إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

“Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Ar-Rahman, mereka tersungkur dalam keadaan sujud dan menangis.” (Maryam: 58)

وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا

“Dan mereka menyungkur di atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (Al-Isra`: 109)
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa tangisan karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala itu menambah kekhusyukan mereka. Sementara hanya orang-orang berilmulah yang memiliki rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Hanyalah yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir: 28)
Dengan demikian orang yang paling kenal dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dialah yang paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَمَا وَاللهِ، إِنِّي لأَخْشَاكُمْ لِلّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ

“Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya….” 6
Abu Raja` berkata: “Aku pernah melihat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, di bawah kedua matanya ada garis semisal tali sandal yang usang karena sering dialiri air mata.”7
Saudariku… Demikianlah keadaan salaful ummah, orang-orang shalih dan orang-orang terbaik dari kalangan umat ini. Bila salah seorang mereka melewati penyebutan tentang neraka, terasa lepas hatinya karena takut dari neraka dan ngeri akan siksanya. Bila melewatinya sebutan surga dan kenikmatannya, serasa gemetar persendian mereka karena khawatir diharamkan dari merasakan kenikmatannya yang kekal. Dua keadaan ini demikian memberi pengaruh, hingga meneteslah air matanya dan khusyuk hatinya. Ia pun berusaha menyembunyikan tangisan itu dari orang-orang di sekitarnya. Namun tak jarang tangis itu terdengar dan mereka pun tahu keadaannya. Demikianlah tangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan amal yang ikhlas karena mengharap wajah-Nya.
Apa yang dilakukan orang-orang belakangan dengan mengeraskan suara dan isakan ketika menangis dalam shalat bukanlah kebiasaan salaf. Karena hal itu justru akan mengganggu orang-orang yang shalat di sekitarnya, dan dikhawatirkan akan jatuh ke dalam perbuatan riya‘ serta menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semestinya seseorang menyembunyikannya dari manusia semampunya, karena hal itu lebih baik dan lebih utama.
Termasuk perkara yang perlu menjadi perhatian sehubungan dengan pembacaan Al-Qur`an adalah beradab terhadap Al-Qur`an dengan diam mendengarkannya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Apabila dibacakan Al-Qur`an maka dengarkanlah dan diamlah, mudah-mudahan kalian dirahmati.” (Al-A’raf: 204)
Sepantasnya bagi seorang muslim untuk menjaga apa yang telah dihapalnya dari Al-Qur`an dan terus menerus membacanya agar tetap tersimpan di dadanya. Karena Al-Qur`an begitu cepat lepasnya (hilang dari ingatan) apabila tidak dijaga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَعَاهَدُوْا هَذَا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ اْلإِبِلِ فِي عُقُلِهَا

“Biasakanlah untuk terus menerus membaca Al-Qur`an karena demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya sungguh dia (bacaan/hafalan Al-Qur`an) itu lebih cepat lepas/hilangnya daripada unta dari tali pengikat kakinya.”8
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata: “Orang-orang sebelum kalian memandang Al-Qur`an sebagai surat-surat dari Rabb mereka. Mereka pun mentadabburinya pada waktu malam dan merealisasikannya di waktu siang.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Pembawa Al-Qur`an adalah pembawa bendera Islam. Tidak pantas baginya bermain-main bersama orang yang main-main, dan tidak pula lalai bersama orang yang lalai, tidak berbuat laghwi (sia-sia) bersama orang yang berbuat laghwi, dalam rangka mengagungkan hak Al-Qur`an.” (At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, hal. 44)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Diringkas dengan sedikit tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan Yastafidu Minhul Wa’izh wal Khathib, hal. 118-125)

1 HR. Al-Bukhari no. 5050
2 Sebagaimana dalam hadits dari Mutharrif dari ayahnya Abdullah bin Asy-Syikhir bin ‘Auf radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ الرَّحَى مِنَ الْبُكَاءِ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dalam keadaan dada beliau berbunyi keras seperti suara periuk yang mendidih karena tangisan beliau.” (HR. Abu Dawud no. 904, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
3 HR. At-Tirmidzi no. 1639, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 3829
4 HR. At-Tirmidzi no. 1633, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 3828
5 HR. Al-Bukhari no. 3905
6 HR. Al-Bukhari no. 5063
7 Siyar A’lamin Nubala`, 3/352
8 HR. Al-Bukhari dan Muslim

Hukum Asuransi

Hukum Asuransi
Permasalahan at-ta`min (asuransi) telah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Al-Albani, baik itu asuransi jiwa, asuransi mobil, asuransi pertokoan, atau yang lainnya.
Maka beliau menjawab: “Asuransi yang dikenal pada masa ini, baik itu asuransi barang, asuransi mobil, asuransi pertokoan atau asuransi jiwa, saya berkeyakinan dengan keyakinan yang mantap bahwa perkara ini masuk dalam kategori perjudian yang terlarang dalam Al Qur`an dan As Sunnah…. Jadi asuransi (model sekarang ini) merupakan salah satu bentuk perjudian.
Adapun asuransi yang sesuai dengan syariat atau (dengan kata lain) asuransi yang Islami, sampai saat ini saya belum menemukan ada asuransi dengan pengertian yang dikenal pada masa ini yang dibenarkan oleh Islam, kecuali jika ditemukan di sana pertukaran faedah (manfaat) antara pihak pengansuransi (pemegang polis/nasabah) dan pihak penjamin asuransi (perusahaan).1
Misalnya: Seseorang yang mengasuransikan perumahannya atau pertokoannya dengan cara membebankan tanggung jawab kepada orang lain untuk menjaga keamanan perumahannya. Kemudian sebagai imbalannya dia membayar upah yang disepakati bersama, maka asuransi model ini boleh, karena masuk dalam kategori Al-Isti`jar.2
Adapun asuransi yang berjalan di atas sistem untung-untungan (adu nasib) maka itu adalah judi.
Adapun ta`min madhyur (nama suatu sistem asuransi) yang diwajibkan oleh pemerintahan untuk perbaikan (renovasi) ini dan itu misalnya, maka masuk dalam kategori pajak.3
Adapun asuransi atas pilihan sendiri yang dia usahakan untuk meraihnya maka tidak boleh (haram) dalam Islam, karena masuk dalam kategori judi.” (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 363)
Pada kesempatan lain Asy-Syaikh Al-Albani v juga ditanya tentang asuransi yang diwajibkan oleh pemerintah, bagaimana hukumnya?
Maka beliau menjawab: “Kami mengatakan bahwa asuransi yang dibayar oleh pemilik mobil karena paksaan pemerintah, masuk dalam kategori pajak (yang dipungut oleh pemerintah secara paksa) yang pada dasarnya tidak disyariatkan. Akan tetapi karena hal tersebut diwajibkan secara paksa kepada mereka (untuk membayarnya) maka mereka lepas dari tanggung jawab di hadapan Allah k dan tidak akan mendapatkan hukuman karenanya.
Lain halnya dengan asuransi yang merupakan pilihan sendiri (tanpa paksaan) sebagaimana kebanyakan asuransi yang ada, berupa asuransi perumahan, pertokoan, barang (dan yang lainnya) maka seluruhnya adalah judi, haram untuk dilakukan.
Adapun asuransi yang diwajibkan (dipaksakan oleh pemerintah) terhadap seseorang, maka (seperti kata pepatah):

مُكْرَهٌ أَخَاكَ لاَ بَطَلٌ

“Saudaramu ini terpaksa melakukannya, bukannya dia pemberani (menerjang perkara yang haram).”
Kemudian sang penanya bertanya lagi: “Akan tetapi apakah dibenarkan baginya untuk melakukan muamalah dengan pihak syarikah (perusahaan asuransi terkait) atas dasar bahwa mobilnya terasuransikan di situ?” Asy-Syaikh v berkata: “Tidak boleh.”4 (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani hal. 415)
Demikian pula fatwa para ulama5 yang tergabung dalam Hai`ah Kibaril Ulama pada pertemuan mereka yang berlangsung tanggal 10 Sya’ban 1398 H dan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada pertemuan mereka yang berlangsung tanggal 4 Rabi’ul Akhir 1397 H menetapkan haramnya seluruh jenis asuransi yang berjalan dengan sistem perdagangan, baik itu asuransi jiwa, barang, atau yang lainnya dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Akad asuransi dengan sistem perdagangan termasuk kategori pertukaran harta yang tidak jelas serta mengandung tipuan yang keji. Karena pada saat berlangsungnya akad tersebut, pihak nasabah tidak mengetahui berapa nilai uang yang bakal disetor atau bakal diperolehnya. Mungkin saja baru membayar 1 atau 2 kali setoran, kemudian dia tertimpa musibah yang mengharuskan pihak perusahaan asuransi untuk membayar tanggungan yang berhak diperolehnya (yang lebih besar dari yang telah dibayar). Dan boleh jadi musibah itu tidak terjadi sama sekali sehingga dia membayar seluruh setoran dan tidak memperoleh sepeserpun (uangnya hilang begitu saja).
Demikian pula halnya dengan pihak perusahaan asuransi, dia juga tidak bisa memperkirakan berapa besar nilai uang yang bakal ditanggungnya atau diperolehnya pada setiap akad yang berlangsung. Sementara Rasulullah n telah melarang dalam hadits yang shahih dari jual beli yang mengandung ketidak-jelasan.6
2. Akad asuransi dengan sistem perdagangan merupakan salah satu model perjudian, karena bentuknya berupa pertukaran harta yang mengandung resiko untung-untungan (adu nasib) yang berakhir dengan kerugian yang dia derita tanpa sebab/kesalahan yang menuntut demikian, atau berakhir dengan keuntungan yang diraih tanpa imbalan sedikitpun atau dengan imbalan yang tidak sebanding. Hal ini dikarenakan pihak nasabah mungkin saja baru membayar satu kali setoran kemudian terjadi musibah yang menimpanya, sehingga pihak perusahaan asuransi menderita kerugian dengan menanggung seluruh beban asuransinya. Dan boleh jadi tidak terjadi musibah apapun, sehingga pihak perusahaan asuransi beruntung dengan mendapatkan seluruh setoran asuransi tanpa imbalan sepeserpun (yang diberikan kepada pihak nasabah).
Jika demikian perkaranya, maka jelaslah bahwa ini merupakan judi yang terlarang, masuk dalam keumuman firman Allah k:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya (minum) khamr, berjudi, (beribadah kepada berhala-berhala, dan (mengundi nasib dengan) azlam7 adalah perbuatan kotor merupakan amalan setan, maka jauhilah agar kalian meraih keberuntungan (keselamatan).” (Al-Maidah: 90)
3. Pada akad asuransi dengan sistem perdagangan, seseorang akan mengambil harta orang lain tanpa imbalan (sama sekali atau yang sebanding). Sementara yang seperti ini hukumnya haram dalam akad pertukaran harta benda yang sifatnya perdagangan, dikarenakan masuk dalam keumuman larangan pada firman Allah k:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكًُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan cara-cara yang batil, melainkan (hendaklah) dengan cara jual beli (perdagangan) yang kalian ridhai bersama.” (An-Nisa`: 29)
4. Dalam akad asuransi terdapat ilzam (pengharusan) yang tidak diharuskan oleh syariat, karena pihak perusahaan asuransi tidak mendatangkan musibah atau menyebabkan musibah tersebut, yang ada hanyalah akad bersama pihak nasabah untuk menanggung beban musibah yang menimpanya -kalau ditaqdirkan terjadi- sebagai balasan uang yang disetorkannya (yang tidak sebanding). Padahal pihak perusahaan asuransi tidak terkait sama sekali dengan musibah tersebut, maka perkara ini haram.
Ini di antara dalil yang disebutkan oleh Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami yang dimuat dalam kitab Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 227 dan seterusnya.
Dengan demikian, haram hukumnya bekerja di perusahaan asuransi. Karena hal itu berarti ta’awun (tolong-menolong) dalam kemungkaran sedangkan Allah k telah berfirman:

وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatan doas dan permusuhan.”
Dan besar kemungkinan bahwa upah yang dia dapatkan sebagiannya berasal dari uang hasil asuransi itu, yang pada hakikatnya adalah hasil judi.
Semoga Allah k memberikan taufiq kepada pemerintah dan kaum muslimin untuk menghentikan kegiatan asuransi yang haram ini dan menempuh jalan lain yang diridhai dan diberkahi oleh Allah k. Washallallahu ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi wasallam.

1 Yaitu dengan pengertian asuransi yang dimaksudkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana dicontohkan setelahnya.
2 Yaitu menyewa tenaga seseorang untuk dipekerjakan dengan upah tertentu.
3 Artinya seorang warga negara dipaksa dan tidak memiliki pilihan lain kecuali membayarnya, maka dia lepas dari tanggung jawab di hadapan Allah, dia terdzalimi dan tidak dianggap berbuat haram.
4 Artinya tidak boleh baginya untuk memanfaatkan (mengambil) uang asuransi dari perusahaan tersebut.
5 Seperti Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz v
6 Hadits Abi Hurairah dalam Shahih Muslim no. 1513

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

7 Yaitu 3 batang anak panah yang tidak berbulu, tertulis pada salah satunya “lakukan”, pada yang lain “jangan lakukan” dan yang ketiga kosong tanpa tulisan. Seseorang berbuat sesuai dengan anak panah yang terambil.


Jumlah Khutbah dalam Shalat 'Id

 Jumlah Khutbah dalam Shalat 'Id
Permasalahan ini diperselisihkan oleh ulama. Pendapat yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa khutbah Id hanya satu khutbah. Dan ini adalah pendapat Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan guru besar kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahumallah. Hal ini berdasarkan dzahir (yang terpahami secara langsung) dari hadits yang shahih dalam permasalahan ini, seperti hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يُصَلُّوْنَ الْعِيْدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radhiallahu ‘anhum melaksanakan shalat Id sebelum khutbah.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan yang lebih jelas lagi adalah hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, dia berkata:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيْدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلىَ بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَحَثَّ عَلىَ طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ - الحديث

“Aku menyaksikan shalat Id pada hari ‘Ied bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamat. Kemudian (seusai shalat) beliau berdiri bersandar pada Bilal radhiallahu ‘anhu (berkhutbah) memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menganjurkan kepada ketaatan, menasehati para shahabat dan memberi peringatan kepada mereka. Kemudian beliau mendatangi shaf para wanita, menasehati, dan memberi mereka peringatan.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengamati hadits-hadits muttafaq ‘alaih dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya, maka akan jelas baginya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan khutbah Id kecuali hanya satu khutbah. Hanya saja setelah beliau menyampaikan khutbah pertama, beliau mendatangi shaf para wanita dan menasehati mereka. Jika ini hendak kita jadikan sebagai dalil disyariatkannya dua khutbah, maka ada kemungkinan. Akan tetapi tetap tidak bisa dibenarkan, karena beliau mendatangi shaf wanita dan berkhutbah di hadapan mereka disebabkan salah satu dari dua kemungkinan:
1. Karena khutbah yang beliau sampaikan tidak terdengar oleh mereka
2. Atau khutbah tersebut terdengar sampai ke tempat mereka, akan tetapi beliau ingin memberikan nasehat-nasehat khusus kepada mereka.” (Asy-Syarhul Mumti’, 5/191-192, cet. Muassasah Asam)
Beliau juga berkata dalam Majmu’ Rasa‘il (16/248): “Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada khutbah Id adalah satu khutbah. Jika seorang (khatib) berkhutbah melalui mikrofon (pengeras suara), maka hendaklah dia mengkhususkan kaum wanita di akhir khutbahnya dengan nasehat tentang mereka. Dan apabila dia berkhutbah tanpa pengeras suara dan para wanita yang hadir tidak mendengar khutbahnya, maka hendaklah dia mendatangi shaf mereka untuk memberi nasehat khusus, didampingi oleh satu atau dua orang.”
Apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullahu bahwa hendaklah dia mendatangi shaf para wanita untuk memberi nasehat khusus... dst, tentunya jika tidak dikhawatirkan adanya mafsadah dan fitnah terhadap diri sang khatib atau para wanita yang hadir atau yang lainnya. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim (6/144) dan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/305). Dan kekhawatiran tersebut sangat besar pada kondisi dan keadaan kaum muslimah di negeri ini, yang mana mereka menghadiri Id tanpa memakai hijab yang syar’i. Mereka mengenakan ‘busana-busana muslimah’1 yang menarik perhatian lelaki. Ditambah lagi aroma parfum-parfum mereka yang membangkitkan syahwat. Wajah-wajah mereka penuh polesan make up yang mempesona. Wa ilallahil musytaka (hanya Allah-lah tempat mengadu).
Sesungguhnya ada beberapa hadits yang menunjukkan dua khutbah, tetapi semuanya dha’if (lemah):
1. Hadits Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah ‘Ied dengan berdiri kemudian beliau duduk lalu berdiri kembali (untuk khutbah kedua), diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1289). Namun pendalilan ini tertolak, karena haditsnya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi yang dha’if bernama Isma’il bin Muslim Al-Makki. Bahkan hadits ini dihukumi mungkar oleh Al-Albani dalam Dha’if Ibnu Majah. Karena riwayat yang benar dari hadits tersebut adalah bahwa itu pada khutbah Jum’at.
2. Hadits Sa’d bin Abi Waqqash, diriwayatkan oleh Al-Bazzar. Hadits ini sangat dha’if, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang sangat dha’if bernama Abdullah bin Syabib, syaikh (guru) Al-Bazzar. Lihat Tamamul Minnah (348).
3. Hadits ‘Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah rahimahullahu, diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i dalam Al-Umm (1/272). Hadits ini juga sangat lemah, karena syaikh Asy-Syafi’i yang bernama Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami matruk (ditinggalkan haditsnya karena tertuduh sebagai pendusta). Juga ‘Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah seorang tabi’in, sehingga terputus sanadnya antara dia dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti hadits ini mursal dha’if.
Jadi hadits-hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk mengatakan bahwa khutbah ‘Ied adalah dua khutbah. Demikian pula, tidak benar berdalil meng-qiyas-kan (menyamakan) dengan khutbah Jum’at, karena bertentangan dengan dzahir hadits-hadits yang shahih sebagaimana telah diterangkan di awal pembahasan.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Nazhar Sebelum Menikah

     Haramnya seorang lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya termasuk dalam kategori tahrimul wasilah. Artinya, diharamkan karena merupakan wasilah (perantara) yang akan menyeret kepada perkara inti yang memang haram pada asalnya. Sehingga seluruh wasilah dan dzari’ah (jalan) menuju perkara tersebut ditutup oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan cara diharamkan. Kaidah ini dikenal di kalangan ulama dengan istilah saddudz-dzari’ah (menutup jalan/wasilah).
Sesuatu yang pengharamannya termasuk dalam bab ini, bisa dibolehkan ketika ada hajat (tuntutan) kebutuhan meskipun bukan darurat. Ini adalah ushul (prinsip hukum) yang dipegang oleh Al-Imam Ahmad, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (23/186-187, 214-215).
Berdasarkan hal ini, tatkala seorang lelaki berhajat untuk memperistri seorang wanita dan sebaliknya, maka hajat tersebut menuntut untuk saling mengenal terlebih dahulu. Sehingga keduanya menikah tidak secara membabi buta, yang mengandung resiko timbulnya penyesalan di kemudian hari dan berakibat tidak harmonisnya kehidupan rumah tangga mereka berdua.
Syariat yang penuh hikmah dan bijaksana ini menginginkan terciptanya rumah tangga yang harmonis, yang terbina di atas cinta dan kasih sayang, agar pasangan suami istri hidup tenang dan bahagia. Dengan demikian keduanya akan memiliki ‘iffah (mampu menjaga diri dari perzinaan dan perkara-perkara yang menyeret kepada perbuatan zina) serta mampu ber-ta’awun (bekerja sama dan saling membantu) dalam menaati Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjaga diri dari maksiat. Demikian pula berbagai maslahat lainnya yang merupakan tujuan disyariatkannya pernikahan. Wallahu ‘alimun hakim (Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana).
Dalam rangka memenuhi tuntutan hajat ini, maka seorang lelaki yang hendak menikahi seorang wanita diizinkan untuk melakukan nazhar (melihat dan mengamati dengan seksama) wanita yang hendak dilamarnya. Sebagaimana dalam hadits Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Apabila salah seorang kalian melamar seorang wanita, hendaklah dia memandang bagian tubuhnya yang akan menjadikannya tertarik untuk menikahinya, jika dia mampu melakukannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 99 dan Al-Irwa` no. 1791)
Begitu pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yang mengisahkan seorang lelaki yang datang dan mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia telah melamar seorang wanita dari kalangan Anshar. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:

أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ اْلأَنْصَارِ شَيْئًا

“Apakah engkau telah melihatnya?” Lelaki itu menjawab: “Belum.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Hendaklah engkau melihatnya terlebih dahulu karena pada mata wanita-wanita Anshar ada sesuatu.” (HR. Muslim, Ahmad dan An-Nasa`i)
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum nazhar. Sebagian mereka mengatakan hukumnya mubah (boleh), dan sebagian yang lain mengatakan sunnah mustahab.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/125-126, cetakan Darul Atsar): “Yang benar dalam masalah ini hukumnya sunnah (karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya). Jika seseorang telah mengenalnya tanpa melakukan nazhar maka tidak ada hajat baginya untuk melakukan nazhar. Seperti halnya bila dia mengutus seorang wanita yang benar-benar dia percayai untuk mengenali wanita yang hendak dipinangnya (dan dia bersandar dengan berita dari wanita itu). Meskipun demikian, pada hakekatnya nazhar orang lain tidak cukup mewakili nazhar yang dilakukan sendiri. Karena boleh jadi wanita itu cantik di mata orang lain, namun belum tentu cantik di mata sendiri.1 Boleh jadi wanita itu dinazhar dalam keadaan gembira dan riang, yang tentu saja berbeda jika dinazhar dalam keadaan sedih. Juga, terkadang wanita yang dinazhar berusaha untuk tampil cantik dengan berdandan menggunakan make up, sehingga disangka cantik padahal tidak demikian hakikatnya.”
Perlu diketahui bahwa nazhar yang syar’i memiliki beberapa persyaratan:
1. Nazhar hanya terbatas pada bagian tubuh tertentu. Batasan ini diperselisihkan para ulama. Dalam hal ini, Al-Imam Ahmad memiliki tiga riwayat (pendapat).
Riwayat pertama sama dengan pendapat jumhur ulama, yang mengatakan bahwa yang boleh dilihat adalah sebatas wajah dan telapak tangan.
Riwayat kedua, beliau berpendapat bahwa boleh untuk melihat bagian tubuhnya yang biasa nampak dan terlihat dalam kesehariannya ketika di rumah saat bersama mahramnya, seperti wajah, kepala, leher, lengan, dan betis.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menerangkan riwayat ini: “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan untuk nazhar secara mutlak, baik dengan seizin dan sepengetahuan si wanita yang bersangkutan ataupun tidak, berarti beliau mengizinkan untuk melihat apa yang biasa terlihat dalam kesehariannya ketika di rumah bersama mahramnya. Karena ketika melakukan nazhar secara diam-diam tanpa seizin dan sepengetahuan si wanita, maka tidak mungkin membatasi diri hanya melihat wajah saja. Bahkan bagian-bagian tubuh lainnya yang biasa nampak tentu akan terlihat pula.”
Riwayat ketiga sama dengan pendapat Azh-Zhahiriyah, yakni boleh melihat seluruh bagian tubuh tanpa kecuali. (Lihat Al-Mughni, 6/387-388, Tahdzib Sunan Abi Dawud hadits no. 2068, dan Nailul Authar, 6/111)
Dan yang rajih adalah riwayat/pendapat kedua dari Al-Imam Ahmad.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah (2/154): “Jika hadits Jabir radhiyallahu 'anhu tidak menunjukkan apa yang dikatakan Ibnu Hazm (yakni pendapat Azh-Zhahiriyyah) maka tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut menunjukkan makna lebih dari batasan yang disebutkan oleh jumhur. Wallahu a’lam.”
Asy-Syaikh Al-Albani juga berkata dalam Ash-Shahihah (1/157): “Riwayat yang kedua dari Al-Imam Ahmad lebih dekat kepada dzahir2 hadits dan praktik para shahabat. Wallahu a’lam.”
Pendapat ini juga dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/126).
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Jika dia belum melihat sesuatu yang menjadikan dia tertarik pada nazhar yang pertama, boleh baginya untuk mengulangi nazhar untuk yang kedua atau ketiga kalinya.”
Hal ini karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan secara mutlak tanpa membatasi satu kali saja.
2. Nazhar dilakukan tanpa khalwat (berduaan). Karena tidak ada tuntutan hajat dan maslahat untuk ber-khalwat. Bahkan bisa menjatuhkan keduanya dalam perkara-perkara yang melanggar syariat, sehingga hal ini tetap haram hukumnya. Jadi, nazhar dilakukan dengan cara ditemani oleh wali atau mahram si wanita.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Jika tidak mungkin (nazhar ditemani walinya) maka boleh bagi si lelaki untuk bersembunyi di tempat yang akan dilewati wanita tersebut dan mengamatinya secara diam-diam.”
3. Nazhar dilakukan tanpa disertai syahwat. Karena wanita tersebut belum menjadi istrinya, sehingga tidak dibenarkan dia bersenang-senang dengan memandanginya disertai syahwat.
4. Nazhar dilakukan apabila si lelaki telah bertekad untuk melamar si wantia. Jika sekedar coba-coba, atau barangkali dan barangkali, maka tidak dibenarkan. Karena pada asalnya, nazhar hukumnya haram. Hanya saja diizinkan ketika ada kebutuhan dan maslahat pernikahan. Sehingga nazhar tidak boleh melampaui apa yang diizinkan syariat.
5. Nazhar dilakukan apabila ada ghalabatuzh zhann (persangkaan kuat) bahwa lamarannya akan diterima. Seandainya dia seorang yang fakir atau miskin, kemudian menazhar anak seorang pejabat, atau seorang lanjut usia menazhar seorang gadis belia, perawan dan cantik, maka kemungkinan besar lamarannya akan ditolak. (Al-Mughni, 6/387-388, Asy-Syarhul Mumti’, 5/126-127)
Terakhir, sebagai peringatan, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/126): “Tidak boleh melakukan percakapan dengan wanita yang dinazhar saat melakukan nazhar. Karena percakapan lebih membangkitkan syahwat dan lebih menggoda untuk menikmati suaranya dari sekedar nazhar. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: ‘Hendaklah ia memandang dari tubuhnya’, bukannya mengatakan: ‘Hendaklah dia mendengar suaranya’.”
Wallahu a’lam.

1 Karena kecantikan adalah sesuatu yang relatif. (pen.)
2 Makna hadits yang nampak dan terpahami secara langsung. (pen.)


Hukum Memakai Cincin Kawin/Cincin Pertunangan

Apa hukumnya memakai cincin kawin atau cincin pertunangan?
(Mawardi, Banjarmasin)

Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah.
Telah diajukan pertanyaan seputar masalah ini kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Dan beliau berfatwa:
“Cincin tunangan adalah ungkapan dari sebuah cincin (yang tidak bermata). Pada asalnya, mengenakan cincin bukanlah sesuatu yang terlarang kecuali jika disertai i’tiqad (keyakinan) tertentu sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Seseorang menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada tunangan wanitanya, dan si wanita juga menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada si lelaki yang melamarnya, dengan anggapan bahwa hal ini akan menimbulkan ikatan yang kokoh antara keduanya. Pada kondisi seperti ini, cincin tadi menjadi haram, karena merupakan perbuatan bergantung dengan sesuatu yang tidak ada landasannya secara syariat maupun inderawi (tidak ada hubungan sebab akibat).1
Demikian pula, lelaki pelamar tidak boleh memakaikannya di tangan wanita tunangannya karena wanita tersebut baru sebatas tunangan dan belum menjadi istrinya setelah lamaran tersebut. Maka wanita itu tetaplah wanita ajnabiyyah (bukan mahram) baginya, karena tidaklah resmi menjadi istri kecuali dengan akad nikah.” (sebagaimana dalam kitab Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 113, dan Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 476)

Telah diajukan juga sebuah pertanyaan kepada Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah: “Apa hukum mengenakan cincin atau cincin tunangan apabila terbuat dari perak atau emas atau logam berharga yang lain?”
Beliau menjawab: “Seorang lelaki tidak boleh mengenakan emas baik berupa cincin atau perhiasan yang lain dalam keadaan apapun. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan emas atas kaum laki-laki umat ini. Dan beliau melihat seorang lelaki yang mengenakan cincin emas di tangannya maka beliaupun melepas cincin tersebut dari tangannya. Kemudian beliau berkata:

يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَضُعَهَا فِي يَدِهِ؟

“Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api dari neraka lalu meletakkannya di tangannya?”
Maka, seorang lelaki muslim tidak boleh mengenakan cincin emas. Adapun cincin selain emas seperti cincin perak atau logam yang lain, maka boleh dikenakan oleh laki-laki, meskipun logam tersebut sangat berharga. Mengenakan cincin tunangan bukanlah adat kaum muslimin (melainkan adat orang-orang kafir). Apabila cincin itu dipakai disertai dengan i’tiqad (keyakinan) akan menyebabkan terwujudnya rasa cinta antara pasangan suami istri dan jika ditanggalkan akan memengaruhi langgengnya hubungan keduanya, maka yang seperti ini termasuk syirik.2 Dan ini merupakan keyakinan jahiliyah.
Maka, tidak boleh mengenakan cincin tunangan dengan alasan apapun, karena:
1. Merupakan perbuatan taqlid (membebek) terhadap orang-orang yang tidak ada kebaikan sedikitpun pada mereka (yakni orang-orang kafir), di mana hal ini adalah adat kebiasaan yang datang ke tengah-tengah kaum muslimin, bukan adat kebiasaan kaum muslimin.
2. Apabila diiringi dengan i’tiqad akan memengaruhi keharmonisan suami istri maka termasuk syirik.
Wala haula wala quwwata illa billah. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 476-477)

Kedua ulama ini sepakat bahwa jika cincin tunangan itu dipakai disertai i’tiqad yang disebutkan maka hukumnya haram dan merupakan syirik kecil. Adapun bila tanpa i’tiqad tersebut, keduanya berbeda pendapat. Dan pendapat Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan lebih dekat kepada al-haq dan lebih selamat. Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Menjadikan perkara tertentu sebagai sebab dalam usaha mencapai sesuatu, padahal syariat tidak memerintahkannya, dan tidak ada pula hubungan sebab akibat antara perkara tersebut dengan tujuan yang akan dicapai (secara tinjauan takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatur kejadian alam), adalah perbuatan syirik kecil; yang merupakan wasilah yang akan menyeret seseorang untuk terjatuh dalam perbuatan syirik besar yang membatalkan keislamannya. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kesyirikan. (pen)
2 Yakni syirik kecil. (pen.)